BAB I

4 0 0
                                    

8 bulan lalu, Oktober, 202X....

Natasya berjalan perlahan pulang dari kampusnya menuju halte angkutan umum yang terlihat sepi. Sudah sebulan lebih semenjak ia menjadi mahasiswa baru di kampus ini, namun baginya, perjalanan pulang selalu terasa berat. Bukan, bukan berarti ia tak ingin pulang menemui keluarganya, justru karena ia sangat mencintai mereka ia tak mampu melihat ibunya terbaring lemas di ranjang rumah sakit hanya ditemani adiknya yang masih sangat kecil. Sementara ayahnya, ayahnya harus banting tulang pagi, siang dan malam demi membiayai biaya perawatan ibunya yang semakin hari semakin mahal.

Kalau bukan karena beasiswa yang ia terima, mungkin Natasya sudah memutuskan untuk berhenti kuliah sejak awal dan mencoba menjadi pekerja tetap untuk membantu ayahnya memenuhi biaya pengobatan ibunya. Namun sayangnya, setiap kali ia membicarakan hal tersebut kepada ayahnya, ia hanya tersenyum, mengusap rambut Natasya perlahan sembari berkata lirih, "Belajarlah nak, kejar impianmu, masa depanmu masih panjang. Setidaknya ketika kamu telah berhasil nanti, kamu bisa meringankan beban yang ayah tanggung, kamu juga bisa merawat adikmu yang masih kecil nanti."

Mengingat kata kata ayahnya pada saat itu, seketika mata Natasya berkaca kaca. Ia melepas kacamatanya untuk mengusap air mata yang mulai terbentuk di kedua belah matanya. Ia mencoba menarik nafas dalam dalam untuk menenangkan hatinya. Ia selalu begitu, sensitif, emosional dan mudah menangis, namun meski begitu ia tidak ingin menunjukkan kerapuhannya di depan orang lain.

"Ke rumah sakit lagi Sya?" tanya Om Ardi, sopir angkot langganan Natasya.

"Iya Om," Jawab Natasya tersenyum sembari menaiki angkot yang sepi.

Om Ardi menyalakan angkotnya setelah Natasya naik dan duduk di dalam angkot. Dengan sedikit terbatuk-batuk mesin angkot tua berhasil menyala dan mulai melaju perlahan.

"Lho, Om? Kita tidak menunggu penumpang yang lainnya dulu?" tanya Natasya heran.

"Ga perlu Sya, toh ini sudah sore. Om juga pengen cepet pulang dan istirahat," jawab Om Ardi ringan.

Angkot tua tersebut perlahan mulai menyusuri jalanan kota yang padat. Kendaraan berlalu lalang di jalanan kota sembari membawa warga kota yang lelah dari tempat mereka bekerja. Meskipun sedikit padat, namun tidak ada kemacetan sore itu. Om Ardi dan Natasya pun terlihat berbincang-bincang ringan di dalam angkot. Sesekali Om Ardi menanyakan kabar keluarga Natasya, dan Natasya pun menanyakan hal yang sama kepada Om Ardi. Keluarga mereka dulu sempat menjadi tetangga dekat, meskipun hanya sebentar.

Tak terasa angkot telah sampai di rumah sakit tujuan Natasya. Om Ardi pun memarkir angkotnya di depan gerbang rumah sakit.

"Berapa Om?" Tanya Natasya sembari turun dari angkot.

"Ga perlu Sya, salam saja ke ayahmu," senyum Om Ardi. Segera setelah ia mengatakannya, angkot Om Ardi melesat kencang meninggalkan Natasya yang tercengang sendirian.

Natasya menghela nafas perlahan, entah sampai kapan dia harus menerima kebaikan dari orang lain tanpa bisa membalas kebaikan mereka. Memikirkannya saja membuat dadanya terasa sesak, namun meskipun begitu, dia tetap bersyukur. Dia bersyukur masih ada banyak sekali orang baik yang mau membantunya dan keluarganya. Tanpa mereka, mungkin ia dan keluarganya sekarang sudah berada di jurang keterpurukan.

Natasya berjalan menyusuri lorong rumah sakit, sekali dua kali ia menyapa suster dan beberapa perawat yang berlalu lalang. Perlahan Natasya melangkah mendekati ruang rawat inap tempat Ibunya dirawat. Sebuah ruangan kelas dua dengan fasilitas seadanya. Bukannya Ayahnya tak ingin memberikan ruang dengan perawatan yang paling baik untuk Ibunya. Namun apadaya, kondisi ekonomi keluarga mereka semakin memburuk. Bahkan rumah Natasya yang lama terpaksa dijual demi menutupi kerugian dari perusahaan ayahnya yang bangkrut. Oleh karena itu, Ibunya harus berbagi kamar inap dengan empat pasien lainnya.

Ia berhenti sebentar di depan pintu kamar inap sembari berusaha menata hatinya. Ia berusaha tersenyum sembari melihat pantulan wajahnya di kaca pintu. Ia tak ingin terlihat suram di depan Ibu dan adiknya. Setidaknya, dengan berpura-pura untuk ceria, ia bisa membawakan kebahagian tersendiri bagi ibunya.

Perlahan Natasya membuka pintu kamar ruang inap tersebut. Sekarang hanya tinggal ibunya yang dirawat di sini. Pasien terakhir yang menemani ibunya telah sembuh dan di bawa pulang oleh keluarganya.

"Ibu, Natasya pu.." Suara Natasya terhenti seketika, ketika ia membuka pintu kamar inap dan menemukan keluarganya duduk berbincang bincang dengan orang asing.

Bukan, bukan orang asing. Natasya mengenalnya, malahan ia kenal sekali dengan orang tersebut, namun meskipun begitu bukan berarti orang tersebut akan mengenal Natasya dengan baik pula. Bagaimana tidak? Dia adalah salah satu Dosen baru di prodinya.

"Kakak...!" Adiknya berlari dan melompat ke pelukan Natasya.

"Sya, kenalkan, ini..."

"Pak Danu?" sela Natasya sebelum sempat Ayah Natasya menyelesaikan omongannya.

"Eh? Kalian sudah saling kenal?" tanya Ayah Natasya keheranan. Beberapa kali ia menyipitkan pandangan ke arah Pak Danu seakan-akan ingin menginterogasinya.

"Iya om, kita saling kenal baik kok," Jawab Pak Danu sembari tersenyum.

"Baguslah kalau begitu, urusannya akan jadi mudah. Iya kan bu?" tanya Ayah Natasya kepada istrinya yang terbaring lemah di atas ranjang pasien.

"Benar Yah," jawab Ibu meng-iyakan.

Tunggu, jangan jangan, ini....

Seketika, berbagai macam sekenario berputar dikepala Natasya dengan cepat. Mulai dari sinetron Indonesia, drama Korea, China, India, bahkan telenovela. Semua yang berhubungan dengan pernikahan, perjodohan, dan lain lain yang mencakup tentang asmara, terus menerus bermunculan dikepalanya.

"Engga Yah! Pokoknya Natasya engga mau!"

"..."

"..."

"...'

"..."

Tanpa sadar Natasya mengatakan apa yang ada dipikirannya dengan keras. Bagaimana tidak? Baginya pemikiran akan suatu perjodohan adalah hal yang keterlaluan. Ia sadar betul akan kondisi keluarganya saat ini. Perusahaan ayahnya yang bangkrut, ibunya yang terbaring sakit, serta biaya hidup yang semakin mahal menimbulkan kemungkinan akan terjadi penumpukan hutang di dalam keluarganya. Akan tetapi, dengan menjodohkannya kepada orang lain tanpa persetujuannya demi melunasi hutang-hutang keluarga merupakan hal yang tidak bisa ia terima. Sehingga tanpa sadar ia mengutarakan pemikirannya secara keras. Bahkan adik yang sedang ia peluk sampai terbelalak kaget.

Ia, benci sekali dengan yang namanya perjodohan. Meskipun suatu perjodohan di filem filem dan buku buku banyak berakhir bahagia, namun ini bukanlah suatu novel. Ini kehidupan nyata. Dan ia tidak ingin kebahagiannya kelak dihancurkan oleh suatu perjodohan.

"Hal aneh apa yang sedang kamu pikirkan Sya?" Suara lembut Ibu menghentikan segala drama yang tengah berputar di kepala Natasya.

Seketika, Natasya terperanjat kaget dan menatap Ibunya yang tersenyum seakan akan tau apa yang sedang ia pikirkan.

"Perkenalkan, dia, Danu Wijaya, kakakmu. Putra dari Budhe Arum yang menghilang dalam kecelakaan pesawat 17 tahun lalu," jelas ibunya.

"Hi Sya, sudah lama kita tidak berjumpa. Kamu sudah besar sekarang ya?" sapa Danu ringan, Dosen yang mengaku sebagai kakak sepupunya yang pernah hilang belasan tahun lalu tersebut tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Natasya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sleepless NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang