Prolog

13 6 26
                                    

Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langit hitam berubah menjadi terang, saat kilatan cahaya itu hampir saja menyambarku.


Takut? tidak sama sekali, bahkan aku berharap agar petir itu menyambarku saat ini juga.

Aku masih merasakan perih di kakiku, akibat bebatuan tajam yang menancap di kakiku. Tuhan, adilkah ini untukku? Aku merutuk kesal pada diriku sendiri, aku benci dengan keadaanku sendiri. Aku ingin menuntut keadilan pada Tuhan. Tapi, aku tahu, semua itu tidak mungkin aku lakukan. Siapa aku? Sampai begitu berani meminta keadilan pada Tuhan. Aku hanya manusia hina, yang bahkan untuk tetap hidup pun aku tidak memiliki hak atasnya.

  Aku berlari dan terus memaksa kakiku yang terluka untuk tetap melangkah di tengah derasnya hujan. Hujan yang dulu begitu aku sukai, dan bahkan kehadirannya selalu aku tunggu. Kini seolah tengah menghukum serta mengutuk diriku, hingga detik berikutnya aku berhenti di JPO.

Aku berdiri di salah satu tiang penyangga, di sela-sela besi tua yang sudah terlihat berkarat, akibat terpaan hujan dan panas. Membuang napas secara kasar, aku mencoba untuk menjernihkan pikiranku. Perlahan aku mulai menutup kedua netraku, dan berniat menjatuhkan diri.

Semuanya nampak gelap. teriakkan orang-orang tak mampu mengembalikan akal sehatku, bahan sorot lampu dari kendaraan di bawah sana, nyatanya tak mampu membuatku kembali dalam duniaku.  

Aku merasakan sesuatu mengalir dari hidungku. Aku sudah sangat lelah, aku sudah tidak mampu lagi untuk bertahan. Sekedar menghirup udara malam ini saja, rasanya sudah begitu menyakitkan.

"DEENA!"

MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang