Ditengah kota Jakarta yang terlihat ramai dan padat akan penduduk. Seorang gadis terlihat begitu tenang, melangkahkan kaki mungilnya menyusuri jalan setapak yang menjadi kenangan dari dirinya dengan sosoknya yang sejak beberapa bulan yang lalu resmi menjadi mantan kekasihnya.
Sesekali gadis itu akan menghentikan langkahnya, saat melihat tempat yang pernah ia kunjungi.
Wajah cantiknya akan menampilkan seulas senyum, kala bayangan bahagia kembali terlintas di pikirannya. Namun, senyum kembali redup saat ia mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Di mana ia ditinggalkan dan di buang, oleh orang yang begitu ia cintai.
Gadis itu hanya membuang napas, mencoba untuk menguatkan hati dan pikirannya, meskipun hal itu mustahil. Sudah hampir dua jam gadis itu berjalan menyusuri kota. Rasa lelah yang perlahan datang, membuat gadis itu menghentikan langkahnya di sebuah taman yang cukup terkenal di Jakarta.
Duduk di salah satu kursi yang sudah usang menjadi pilihan Adeena. Sesekali gadis itu akan membuang napas kasar, hanya untuk sekedar membuang lelah yang mulai menghampiri.
"Ini," ucap seseorang sembari menyodorkan sebotol air mineral.
Adeena menatap penuh curiga. Merasa sedikit curiga dengan sosok di depannya. Jujur saja, gadis itu merasa sedikit was-was. Mengingat dirinya baru saja duduk, dan seseorang langsung memberikan botol minuman padanya. Bukankah itu aneh? Dan bukankah wajar, jika Adeena merasa curiga?
"Aku orang baik, lagian minuman ini masih tersegel sempurna." Pemuda itu seolah tahu apa yang ada dipikiran Adeena.
Akhirnya Adeena menerima pemberian pemuda itu, dan meneguknya hingga tandas. Tenggorokannya benar-benar segar sekarang.
"Daffin," ujar pemuda itu sambil mengarahkan satu tangannya ke arah Adeena. Namun sialnya, gadis itu malah memberikan tatapan yang menjengkelkan. "Kau sudah mengambil dan meminum air itu, setidaknya sebutkan namamu."
"Jadi, kau tidak Ikhlas?"
Daffin menggaruk kepalanya yang tak gatal. Demi Tuhan bukan itu maksudnya. Daffin ikhlas memberikan minuman tersebut, pemuda itu hanya kasihan dan berinisiatif memberikan air mineral. Hanya itu, nggak lebih. Tapi kalaupun boleh lebih, Daffin ingin tahu nama gadis itu saja, setelah itu tempat tinggal, nomor ponsel, keluarga, tipe pacar, ukuran sepatu dan ya, Daffin juga ingin tahu di mana gadis itu menuntut ilmu. Apakah terlalu banyak? Sepertinya tidak.
"Ini." Adeena melempar sebuah botol air mineral dengan ukuran yang lebih besar kepada Daffin.
Pemuda itu diam. Menatap penuh heran antara gadis itu dan botol yang kini ada ditangannya.
"Ke-"
"Aku sudah mengganti air tadi beserta bunganya, sekarang pergilah!"
Daffin terdiam. Dia diusir? Karena air mineral? Wah, bukankah itu kejam. Bagaimana bisa ada manusia seperti Adeena? Astaga, bahkan author sendiri bingung, bagaimana bisa memunculkan karakter gadis dengan sifat tsundere yang begitu parah seperti Adeena.
Daffin tidak bergeming. Pemuda itu malah menyamankan duduknya, sambil memainkan ponsel pintar miliknya.
Adeena mengernyit. "Bukankah, aku sudah mengganti airmu? lalu apa lagi?" tanya Adeena. Demi Tuhan, ia tak ingin diganggu untuk hari ini. Dia hanya ingin sendiri, benar-benar sendiri.
"Bukankah ini tempat umum? kenapa aku harus pergi dari sini?"
Astaga, Daffin. Tidak tahukah engkau kepada siapa kau berbicara. Tidak sadarkah kau, aura yang semakin pekat dan hawa membunuh yang semakin besar di sekitar mu.
"Pergi! atau-"
"Atau apa? Aku nggak akan berpindah satu sentipun dari tempat ini."
Ok. Habis sudah kesabaran Adeena. Gadis itu memilih pergi, meninggalkan Daffin yang tengah menatapnya bingung.
"Hey, tunggu!"
"Bukankah kau bilang tidak akan berpindah dari kursi itu?"
"Terserah aku dong, ini tubuhku, aku bebas melakukan apa pun pada tubuhku, termasuk mengikutimu"
Bugh
Adeena membanting tubuh bongsor Daffin ke tanah yang penuh dengan rerumputan.
"Kenapa kau membantingku?" tanya Daffin sembari membersihkan punggungnya yang kotor.
"Ini tubuhku, dan aku bebas melakukan apa pun dengan tubuhku, termasuk membantingmu."
Daffin hanya terdiam. Merasa takjub dengan cara gadis itu membalik kalimat yang ia buat dengan susah payah. Daffin diam-diam kagum dengan gadis itu, meski cara dia bicara dan bersikap sangat menyebalkan. Namun, disisi lain Daffin merasa jika gadis itu adalah gadis yang baik.
Sepanjang perjalanan Adeena terus menggerutu. Bibir mungilnya tidak berhenti mengumpat dan bahkan memberikan sumpah serapahnya kepada seorang Daffin.
Bagaimana tidak? Pemuda itu benar-benar mengikuti ke manapun Adeena melangkahkan kakinya. Meski beberapa kali terdengar pemuda itu mengeluh capek dan lain sebagainya.
"Hei, berhenti sebentar. Aku lelah," ucap Daffin sembari memegangi lututnya yang hampir lepas saja rasanya.
Entah sudah yang keberapa kalinya, tapi Adeena tetap tidak menggubris perkataan Daffin. Gadis itu masih terus saja melangkahkan kakinya melewati jalan setapak yang panjang. Mengabaikan keluhan Daffin, juga rasa lelah yang mulai menghampiri.
"Hei, astaga. Apa kamu nggak capek? kita sudah jalan sangat jauh."
Akhirnya, setelah perjuangan yang panjang. Akhirnya Tuhan, eh salah, maksudnya Adeena mau membuka hatinya dan menghentikan langkahnya. Menatap Daffin yang tersenyum bak orang bodoh dipinggir jalan.
"Apa kita akan istirahat? apa kita akan makan? atau minum? aku tahu kafe yang bagus di sekitar sini. Ayo!" Daffin menarik tangan Adeena, berniat mengajak gadis itu untuk beristirahat di salah satu kafe sekitar. Namun, ...
"Jangan sok peduli. Pergilah!"
... Adeena menolak mentah-mentah ajakan Daffin. Bahkan setelah mengatakan hal yang begitu menyakitkan, gadis itu langsung pergi begitu saja. Tanpa memperdulikan Daffin yang kini terdiam di tempatnya.
"Aku pikir, kau gadis yang berbeda. Aku pikir, kau bukan gadis yang lemah, yang akan memilih mati karena tidak mendapatkan cintanya. Tapi ternyata kau sama saja dengan mereka, memberikan hidupmu untuk cinta yang bahkan tidak pernah ada!"
Adeena menghentikan langkahnya. Merasa bingung dengan apa yang diucapkan oleh pemuda yang sejak tadi mengganggu hidupnya.
"Kau cuma gadis lemah! Yang bahkan tidak bisa mengendalikan perasaan dan hatimu!"
"Apa maksudmu?"
"Tidak ada. Aku hanya asal bicara," jawab Daffin. Percaya atau tidak, tapi pemuda itu cukup menyesal dengan apa yang dia katakan. Andai saja waktu bisa terulang, ia ingin tetap diam saja.
"Jelaskan, atau ...."
"Dia orangku."
"Kau?" Adeena menatap tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. "Jadi, karena kau tidak bisa menemukan ku, jadi kau meminta alien gila ini, untuk membuntuti ku? Sinting."
maaf bgt baru bisa up. selain sibuk juga agak males gimana gitu....
selamat membaca
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine
Romansa"Cinta lahir dari perkenalan, bersemi dengan adanya perhatian, dan bertahan dengan kesetiaan. Tapi, aku mencintaimu tanpa syarat. Dan aku tak mengerti itu." #Adeena. "Bukankah dunia itu lucu? Mengingat bagaimana kita dulu dan sekarang, membuat ku m...