Bab 4

961 56 0
                                    

Bram duduk di ruang tamu rumah kontrakannya sambil menyeruput teh hangat buatan istrinya. Ia terlihat menggigil karena habis kehujanan.

"Mas, ini ada pisang goreng, makanlah mumpung masih hangat." Tawar istrinya.

"Terima kasih, Din. Oh, iya Din, rencana minggu depan, Jumat sore aku mau ke rumah nenek, kamu ikut, ya."

Dina nampak berpikir. "Mas, mending gak usah ya, Mas. Aku udah cukup kok sama ini semua."

"Loh, kok malah gitu sih kamu? Ya gak bisa Din."

"Tapi, Mas, aku jadi kepikiran sama omongannya Mas Agil. Gimana kalau seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat kita ke sana?" tanya Dina.

"Aduh, Din. Udah, ah, kita bakal baik-baik aja, kok. Tenang aja, ya. Kalau kamu takut, gak apa-apa kamu gak ikut, biar aku aja yang ke sana."

"Tapi Mas ...."

"Tapi apa?"

"Ya udah, aku ikut."

"Nah, gitu dong, 'kan kalau ada kamu aku jadi tenang karena ada yang pelukin aku terus," ucap Bram senang. Dina tersipu malu dan mencubit kecil lengan Bram.

***

Hari senin, pukul 11.52.

Bram terlihat sangat sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai jam makan siang hampir tiba. Jika ia sudah bekerja, ia selalu fokus dan pastinya kerjaannya akan langsung beres pada hari itu juga.

Galih dengan santainya ke meja kerja Bram sambil bermain gim online di ponselnya, lalu ia nyeletuk, "Calon manager baru nih, kerjanya aja selalu bagus."

Namun, Bram tak menghiraukan ucapan temannya itu dan masih tetap fokus dengan pekerjaannya. Galih pun memahaminya, karena sejak pertama kali ia bertemu dengan Bram, Bram sudah terlihat sebagai orang yang cekatan, berdedikasi tinggi, dan anak yang sangat cerdas di kantornya.

"Selesai," ucap Bram dan ia segera menyenderkan tubuhnya pada kursi kerjanya.

"Wuih, hebat kamu Bram," ujar Galih.

"Bisa aja kamu, Lih. Enggak kok. Ini kebetulan aja aku gabut, jadi daripada aku gabut, mending kerjakan tugas aja dari Pak Bos."

Di seberang mejanya, terlihat Vienna yang curi-curi pandang ke arah Bram. Bram pun menyadari hal tersebut, bahkan Vienna beberapa kali ketahuan memperhatikan Bram yang sedang bekerja.

"Bram, kita ke kantin yuk, bentar lagi mau jam istirahat," ujar Galih sambil memainkan gim onlinenya.

"Iya, bentar lagi. Tinggal 30 detik lagi."

"Ya elah, tinggal 30 detik doang, Bram."

"Ya gak apa-apa, Lih, lagian kita dibayar 'kan sama kantor, harusnya kita bisa mempertanggung jawabkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kantor, salah satunya adalah waktu."

"Iya juga sih. Pinter juga ya kamu."

"Kamu juga pinter kok."

Jam menunjukkan pukul 12.00, Bram pun segera merapikan meja kerjanya yang berantakan. Namun, sebelum ia pergi, ia mengajak Vienna yang sedang terlihat sangat sibuk. "Vien, gak mau ke kantin?" tanyanya.

"Enggak, Bram."

"Tumben kamu gak mau Vien? Biasanya kamu maju paling depan kalau mau ke kantin," ujar Galih yang ikut nimbrung.

"Enggak, kok. Gak apa-apa, aku masih banyak kerjaan."

"Serius kamu gak mau ke kantin? Apa mau aku beliin makanan atau minuman?" tanya Bram.

Bersekutu Dengan Iblis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang