🌹 (RatioBirthday) Midnight Calling

30 1 1
                                    

Hamatora milik Kodama Yuki, Kitajima Yukino


.


Enjoy!


.

Sosok bersurai pirang tampak menghela nafas sambil menatap layar televisi yang menayangkan acara drama tengah malam. Matanya yang tak dibingkai oleh kacamata memperhatikan drama ditelevisi dengan pandangan bosan.

Membosankan.

Ia kemudian memutuskan untuk meraih remote dan mengganti-ganti saluran tapi tak ada satupun yang menarik minatnya. Tidak ada acara yang seru tengah malam begini. Ia menghela nafas sebelum mematikan televisi.

"Buh. . . Benar-benar membosankan. . ." keluh sosok yang diketahui bernama Birthday itu sambil melempar remote digenggamannya sembarangan.

Ini membosankan. Benar-benar membosankan.

Karena virus corona yang menyebar dipenjuru dunia hingga ditetapkan sebagai pandemi, banyak negara memutuskan untuk menerapkan kebijakan lockdown dengan harapan mengurangi tingkat penularan dari virus tersebut. Negara mereka pun termasuk yang menerapkan kebijakan ini, sehingga orang-orang mau tidak mau harus mengurung diri mereka dirumah.

Hal itulah yang tengah Birthday lakukan saat ini. Menjalani lockdown sesuai dengan perintah dari pihak pemerintah. Sudah beberapa bulan kebijakan ini berlangsung, dan ia merasa hampir gila karena bosan. Selama masa lockdown ini, yang ia lakukan hanya menonton televisi dan bermalas-malasan. Benar-benar tidak berfaedah sama sekali.

"Seandainya ada Ratio-chan, mungkin aku bisa bermain-main sedikit dengannya. . . Dengan begitu, menjalani lockdown pasti tidak akan semembosankan ini. . ." gumamnya lagi, terlihat begitu lesu dan tanpa semangat.

Sejak adanya pandemi ini, para tenaga medis dikerahkan untuk mengurusi para pasien yang tertular oleh virus corona. Temannya, Ratio, pun juga termasuk dalam orang-orang sibuk itu mengingat statusnya yang merupakan seorang dokter. Bahkan sudah sebulan lebih ia tidak pulang ke rumah. Tampaknya terlalu sibuk menangani para pasien yang makin hari makin bertambah banyak sampai-sampai ia memutuskan untuk menetap disana. Meninggalkan Birthday sendirian menjalani lockdown yang seperti neraka (karena kebosanan yang makin hari makin bertambah).

Hening sempat melanda sebelum sebuah bohlam muncul diatas kepalanya.

"Betul juga, aku bisa menelfon Ratio-chan untuk diajak mengobrol. Sudah sebulan lebih aku tidak mendengar suaranya. . ." tawanya.

Birthday memutuskan untuk mengambil ponsel pintar yang tergeletak dimeja kecil samping sofa tunggal tempatnya duduk sebelum men-dial sebuah nomor.

"Nah, semoga Ratio-chan tidak sesibuk itu sampai tidak bisa menerima telfon dariku."

.

.

.

Di Rumah Sakit tempat Ratio bekerja, Ratio baru saja mendapat waktu untuk beristirahat setelah sibuk merawat pasien-pasien yang terjangkit virus corona saat ponselnya mendadak berbunyi. Ratio lekas mengambil benda persegi tersebut dari tas kerjanya. Ia bertanya-tanya siapa orang kurang kerjaan yang menelfonnya tengah malam begini, dan alisnya langsung mengerut begitu mendapati nama 'Birthday' terpampang dilayar ponsel pintarnya.

Mendecak, ia menghela nafas sebelum mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

"Yo, Ratio-chan!" suara kelewat bersemangat langsung menyambutnya dari seberang sana, membuat Ratio refleks menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Mau apa kau menelfonku malam-malam begini? Kau tahu kalau begadang itu tidak menyehatkan, bukan?"

"Mou, Ratio-chan, setelah hampir sebulan tidak mengobrol, kenapa hal pertama yang kau lakukan malah menceramahiku? Benar-benar tidak seru." Rajuk Birthday dengan nada yang dibuat sok manis.

Ratio hanya memutar bola matanya.

"Kalau tidak ada hal penting yang ingin kau bicarakan akan kututup panggilannya."

"Eh?! Tunggu, tunggu, Ratio-chan! Jangan tutup panggilannya dulu! Ini bahkan belum sampai semenit kita mengobrol!"

"Birthday, kau tahu sendiri kan betapa sibuknya aku sebagai dokter dimasa pandemi begini?" tanya Ratio dengan kening yang makin berkerut.

"Iya, aku tahu." Sahut Birthday. Ratio yakin seratus persen kalau saat ini ia pasti tengah menganggukkan kepalanya.

"Lantas mengapa kau menelfonku malam-malam begini? Aku lelah."

"Yah, i-itu. . ." ada jeda disana sebelum Birthday melanjutkan, "... Aku sebenarnya hanya ingin mendengar suaramu saja! Tehe~!"

"Akan kumatikan panggilannya sekarang ju-"

"AHH! Tidak, tidak, aku hanya bercanda! Ratio-chan, maafkan aku! Aku hanya bercanda!" jeritnya.

"Candaanmu tidak lucu sama sekali, Birthday."

"Jangan terlalu serius begitu, rilekslah sedikit." Ucap Birthday sambil melantunkan tawa.

"Kau pikir aku bisa rileks saat mengobrol bersamamu?" sarkasnya.

"Uwah~ Jahat sekali. . . Hatiku benar-benar sakit mendengarnya~"

Ratio sekali lagi memutar bola matanya. Birthday mulai lagi dengan aktingnya.

"Birthday, kali ini seriuslah. Sebenarnya apa tujuanmu menelfonku tengah malam begini? Jika tidak penting sebaiknya kau segera tidur."

"Tujuanku menelfonmu? Kan sudah kukatakan tadi." tawanya. Alis Ratio berkedut mendengarnya.

Jadi memang itu tujuannya?

"Birthday, kau tidak seri-"

"Aku serius kok." Birthday masih menjawab sambil tertawa, "Tapi itu tujuan yang kedua. Tujuan yang pertama sebenarnya. . . "

Ada jeda lagi. Kali ini Ratio tidak mengatakan apa-apa dan memutuskan untuk mendengarkan. Jika alasannya tidak penting maka ia akan langsung memutuskan panggilannya.

"Hanya ingin bilang, makan yang teratur dan tidur yang cukup ya, Ratio-sensei~ Kuharap pandemi ini segera berakhir agar kau bisa cepat pulang. Menjalani lockdown sendiri itu benar-benar membosankan asal kau tahu. Yah, itu saja. Semangat ya, Ratio-sensei. Selamat malam!"

Pip. . . Pip. . .

Panggilan itu terputus dan Ratio terdiam tanpa bisa membalas apa-apa. Dasar, setelah mengganggu istirahatnya Birthday malah kabur begitu saja. Menghela nafas entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, Ratio meletakkan ponsel pintarnya kembali ke tempat semula sebelum menutupi wajahnya yang tersapukan merah samar dengan telapak tangan.

"Dasar. . . Kalau bisa aku juga ingin segera pulang. . ." gumamnya. "Semoga pandemi ini segera berakhir. . ."

.

.

.

Di rumah, Birthday tampak menggenggam erat ponselnya sambil menatap televisi mati yang memantulkan wajahnya yang disapukan warna merah. Benar-benar memalukan. Ia tak menyangka mengatakan kalimat seperti itu membuatnya merasa semalu ini.

"Yah, setidaknya aku sudah mendengar suaranya." Tawa Birthday menutupi rasa malunya, lalu bangkit dari sofa tunggal tempatnya duduk sejak tadi dan berlalu pergi dari sana.

.

.

-End-

A/N: Mereka kopel yang imut banget. Semoga menghibur^^

Random OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang