ᴛʀᴏɪꜱ

659 130 16
                                    

Hari itu sungguh tiba, hari dimana Jimin harus bertemu lagi dengan Jungkook setelah berakhirnya hubungan mereka. Hari dimana mereka hanya menjalankan semuanya secara profesional. Sejujurnya Jimin sungguh muak dan masih kesal sebab ini termasuk project yang sangat dadakan, bahkan persetujuannya melangkahi Jimin sebagai owner. Dimana rasa respect seluruh staff pada si manis? Kenapa bisa berani mengambil keputusan untuk menerima klien di saat mereka sendiri akan disibukkan dengan persiapan besok.

Ditambah, Jimin juga tidak tau siapa klien nya. Sangat tidak terarah dan terkesan begitu ceroboh. Ia tidak mau banyak turun tangan dalam project ini, Jimin tidak mau dilibatkan dengan tanggung jawab yang ia sendiri enggan untuk melangsungkan hal yang bukan keharusannya.

Yang Jimin bisa lihat sekarang memang seluruh staffnya sudah pada posisi masing-masing, walau kerangka konsepnya belum terbentuk benar-benar jelas padahal di shcedule menunjukkan waktunya sudah sangat tipis dengan kelangsungan acara.

Jimin geram bukan main, namun ia kendalikan dirinya sendiri hanya sebagai pemantau bukan pengarah. Menghembuskan napas beberapa kali guna menenangkan diri, rupanya sepasang mata malah terkunci pada sosok yang sudah terpatri di dalam hati.

Entah sejak kapan Jungkooknya diam mematung di sana dengan pakaian yang sedikit formal, berbeda sekali dengan biasanya; pemuda itu biasanya memakai kaos oblong disetiap kegiatan yang ada.

Jungkook lebih rapih, menggunakan kaca mata bening dengan tangan yang ia sembunyikan di belakang. Satu sampai dua kali, Jimin berhasil memalingkan pandangan mata walau akhirnya ia terkunci untuk kesekian kali sampai alisnya bertautan menatap yang melangkah mendekat penuh keheranan.

Tatap tegasnya pada Jungkook terputus kala ia sedikit dikejutkan dengan lantunan lagu yang mulai dinyalakan. Ini adalah lagu yang banyak sekali digunakan untuk proses pelamaran. Jika lagunya sudah dimulai seharusnya klien Jimin serta pasangannya sudah datang, namun sepanjang Jimin menitiki setiap sudut untuk mencari, tak ditemukan sama sekali.

Makin bingung saja dirinya saat menyadari Jungkook sudah tepat berada di depannya, wajah Jimin masih terdeteksi kesal yang dapat Jungkook rasakan dicampur dengan nervousnya.

"Jimin.."

Lembut campur gemetar kala Jungkook memanggil namanya, saat itu juga banyak dancer yang masuk dan mengelilingi mereka denga gerak tubuh yang indah sesuai dengan alunan lagu.

Di detik selanjutnya Jungkook berlutut, membuka kotak cincin untuk ia arahkan pada Jimin sebagai bentuk bahwa Jungkook tengah melamarnya sekarang.

Si manis bingung bagaimana harus bereaksi, yang jelas air matanya langsung lolos begitu saja.

"Apaan Jungkook? Hiks.." Jimin mulai terisak. Di kepalanya sama sekali tidak ada pikiran bahwa dirinya akan dilamar oleh Jungkook dengan cara seperti ini.

"Be my husband?" Tegas dan sungguh-sungguh tak melunturkan manisnya nada Jungkook saat meminta Jimin untuk menjadi calon suaminya. Tubuh yang lebih mungil masih bergetar dengan air mata yang tak berhenti mengalir; kondisi mata juga tertutup. Ini terlalu tiba-tiba untuk hubungan yang sebelumnya tidak baik-baik saja.

"G-gak mau lo terpaksa, Jungkook.."

"Enggak sama sekali, sayang. Gue udah siap, gue mau nikah sama lo, maafin yang kemarin udah jahat nyakitin lo dengan ngomong kayak gitu karena rasa takut gue yang terlalu berlebih."

Masih dalam posisi sama, namun Jungkook juga tidak menyerah, kali ini dirinya yang akan meyakinkan Jimin bahwa ketakutan atas rasa terpaksa yang Jimin pikirkan adalah salah. 

"Udah banyak banget hal yang kamu lakuin untuk yakinin aku, maaf karena aku sempet terlalu egois dan nggak bisa memandang hal bahagia itu dari sisi yang lain. Maafin aku juga karena bisa ngungkapin kata-kata yang mungkin bikin kamu nggak ngerasa aku inginkan. Aku sayang kamu, aku mau nikah dan mau habisin sisa waktu di hidup aku sama kamu. Sampai kita tua, sampai kita jadi debu. I just realized that i can't imagine growing old with anyone else, nor do i want to."  

"Jungkook.." 

"So, Park Jimin, will you marry me?"

Walau masih dengan keadaan yang sama, setidaknya Jimin memberikan jawab "iya" sebagai anggukan. Detik itu juga meriah confetti diledakkan dengan sorak bahagia sambil melepaskan 150 balon berwarna merah hati ke udara. 

Tangan mungil Jimin dibawa ke dalam genggamannya untuk ia sematkan cincin pada jari manis milik yang paling manis. Seusainya Jungkook membawa Jimin ke dalam dekap hangat pemilik tubuh gagah untuk ia beri sentuh lembut sebagai penenang dari bahagia, sekaligus membisikkan rasa terima kasih atas lamaran yang sudah diterima.

Tanpa Jimin tau, bukan hanya dirinya yang menangis. Melainkan Jungkook pun menangis haru sebab ini adalah kali pertama dirinya membuat Jimin bahagia sampai menitikkan air mata. Oh, ini adalah bahagia yang memang tidak akan pernah dirasakan oleh orang yang hanya menjalin status berpacaran. 

****

Dalam kelam malam minggu, Jungkook dan Jimin duduk saling menyandar pada tubuh satu sama lain kala menatap cantiknya candra penerang gelap. Rupanya kebahagiaan ini tidak usai begitu saja. Setelah Jungkook melamar Jimin dengan tiba-tiba dan dengan cara yang tidak terduga sore tadi, rupanya membuat bibir mereka sulit sekali menghentikan senyum walau tidak ada pembicaraan sama sekali.

Mengingat bahwa hubungan yang sebelumnya tidak baik-baik saja mendatangkan keinginan hati Jimin untuk meminta Jungkook memberinya penjelasan. Setidaknya Jimin tidak mau Jungkook terpaksa, yah, sejujurnya pemikiran itu masih singgah walau Jimin memang sudah menerima lamaran Jungkook. 

"Kenapa? Masih takut kalau gue cuma mau ngelamar lo berdasarkan rasa terpaksa takut kehilangan?" Mudah sekali bagi Jungkook menebak isi kepala Jimin, hebat sekali.

Tanpa dijawab lagi, Jungkook sudah melangsungkan hela napas untuk siap menjelaskan. 

"Yang gue tau, gue nggak bisa kalau nggak sama lo, Jim. Makanya pas kemarin lo mutusin gue, dunia gue kayak runtuh, gue rapuh. Mungkin itu juga yang lo rasain waktu gue bilang kalau gue nggak mau nikahin lo, pasti sakit banget, ya? Gue minta maaf sekali lagi. Tapi jujur, demi Tuhan, gue ngelamar lo bukan karena gue terpaksa atau apalah itu. Gue berusaha untuk menetralkan pikiran gue tentang pernikahan, rasa takut gue ngeliat cerai berai hubungan orang tua gue, harusnya nggak membuat gue kesulitan sampai ketakutan untuk bahagia dengan hal berbau pernikahan sama orang yang gue cinta juga.

Gue salah karena gue pikir, ya kita bisa aja berkomitmen kayak orang nikah walaupun kita nggak nikah. Namjoon udah jelasin semuanya ke gue, dan gue bener-bener ngerasa bodoh karena udah mengentengkan semuanya. Gue nggak bisa tanpa lo, Jimin. Gue nggak akan siap juga kalau semisal lo nantinya nikah sama yang lain, aduh, gue bisa gila."

Jimin terkekeh mendengar penjelasan dengan jeda. 

"Sekarang emang udah saatnya juga kita bangun dan mempertemukan mimpi kita untuk jadi komitmen bahagia di hubungan pernikahan." Final Jungkook yang kemudian dibalas anggukan oleh Jimin.

Setelahnya mereka memangkas jarak untuk berdekatan satu sama lain, hembusan napas yang menerba wajah keduanya membuat mereka memejamkan mata untuk menyatukan dua labium berbeda yang kini bergerak penuh lembut kemesraan. 

 Jimin bahagia sebab Jungkook bisa meluruhkan takutnya tanpa harus ia desak.

Jungkook pun bahagia bisa merasa lega tanpa harus digundahi dengan sesak yang menyiksa.

Pernikahan memang tidak akan dilangsungkan dengan cepat, setidaknya mereka sudah terikat untuk lebih erat satu sama lain. Memahami cinta saja tidak cukup membuat keduanya sepakat untuk mengenal lebih dalam dan intens. Gunanya agar tidak benar-benar ada yang berubah setelah menikah.

Mimpi mereka pun satu jalan;

Bahagia, dan menua bersama.

Quand M'épouser?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang