Page 02

273 31 3
                                    

Hari Senin memang selalu cerah, ya? Walaupun sedang musim penghujan. Tetapi, sekarang memang bukan musim penghujan, sih. Dengan semangat gue mengkikis jarak menuju kelas dengan wajah yang sebisa mungkin menampilkan senyuman.

Gue harus selalu tampil ceria. Walaupun mereka harus menjauh.

Angin pagi membelai wajah sehingga menerbangkan rambut depan gue yang sudah mulai memanjang. Masih berjalan tanpa menyipitkan mata, tidak takut ada debu yang masuk berkat kacamata yang gue kenakan.

Langkah mengayun seperti biasa, belum banyak orang yang datang karena ini masih tergolong pagi. Gue memang terbiasa datang ke sekolah sebelum ramai, untuk menghindari banyaknya interaksi. Di tangga langkah terhenti karena melihat tali sepatu yang lepas, gue mengikatnya dulu dan kembali menuju kelas.

Untuk menuju kelas XI IPS-3, itu artinya gue harus melewati XI IPS-2 dulu. Tanpa sengaja ekor mata gue mengintip sekilas ke dalam kelas samping ruangan kelas gue. Di bangku pertama yang berhadapan langsung dengan meja guru, sudah ada siswi yang duduk. Rajin, dia sedang membaca buku paket sejarah. Gue lihat covernya itu buku sejarah. Tipe-tipe anak rajin dan disiplin.

Tanpa disadari orang itu melihat gue balik, tapi hanya sebentar sekali, tidak lebih dari dua detik. Dengan kaku, gue buru-buru pergi ke kelas. Tadi beneran dia lihat gue, tidak salah.

Gue tahu siapa dia, sahabatnya kak Fajri--kapten basket di SMA Kencana. Terus ada lagi satu sahabatnya, namanya kak Nissa. Nama circle mereka SAFARI, kalau tidak salah. Ada-ada saja, seperti kebun binatang. Mendengar dari orang-orang tentang persahabatan mereka, jujur sangat iri untuk gue yang teman saja tidak punya.

Tapi, tidak apa-apa juga, sih. Orang ini kemauan gue. Hidup sendiri itu menyenangkan. Lebih bebas dan tidak akan ada yang terbebani maupun membebani. Hanya sedikit sepi saja.

Gue memasuki kelas, duduk di bangku paling depan. Gue harus ke ruang OSIS, hari ini piket dan harus segera menjalankan kewajiban tersebut.

Ruang OSIS masih sepi, hanya ada Wanda si sekretaris yang terlalu rajin. Dengar obrolan bersama temannya, dia pernah datang ketika gerbang masih terkunci. Sampai harus menunggu beberapa menit. Wanda juga baik, perempuan itu selalu menyempatkan banyak berinteraksi dengan gue, meskipun tidak mendapatkan banyak respon balik.

“Son, nanti kamu jaga di barisan kelas 11 IPA, ya, gantiin Oliv, dia nggak masuk soalnya. Anak-anak PMR juga kan lagi ada acara, cuma ada sebagian.”

“Oh, oke.”

***

Bel masuk istirahat sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Pak Ricky sebagai guru yang mengisi jam mata pelajaran menugaskan kami membuat makalah. Dengan santainya, setelah memberikan tugas, guru berwibawa tersebut meninggalkan kelas tanpa alasan yang jelas. Alhasil, kelas sedikit ribut.

“Zweitson, aku duduk di sini boleh nggak?” Seorang perempuan berdiri tepat di hadapan gue, di depan bangku gue. Dia tersenyum lebar. Siapa lagi kalau bukan Cellin. Salah satu penghuni kelas dengan bandana yang selalu setia menempel di kepalanya.

Cellin selalu mendatangi gue, lalu meminta bareng kalau istirahat, minta satu bangku, minta satu kelompok kalau ada tugas kelompok dan masih ada lagi yang lain. Bingung juga, kenapa dia tidak kapok sudah gue tolak beberapa kali--bukan nembak--padahal sudah jelas kalau gue tidak suka ditemani dan tidak ingin mempunyai teman.

Harusnya Cellin tahu itu.

Gue tidak cuek, tidak dingin juga. Ya, tetapi kalau ada orang mau itu perempuan atau laki-laki yang berusaha dekat dengan gue, gue tidak bisa. Satu sisi gue ingin mempunyai teman, sisi lain gue ... gue memang tidak bisa, gue takut.

"Gue lebih suka duduk sendiri. Lagian kan lo satu bangku sama Dina, nanti dia marah kalau lo pindah-pindah duduk terus." Gue memindahkan tas yang tadinya di belakang kursi yang gue duduki ke bangku kosong di sisi gue. Itu cara mengusir halus agar Cellin pergi.

"Sekaliiiiii aja, Zwei," pinta dia sembari memeluk tas pinknya. Entah sudah berapa kali dia mengucapkan kalimat itu dengan nada yang sama.

Gue tidak menjawab, hanya memberi dia senyuman lalu kembali melihat monitor laptop. Cellin kembali ke bangku asalnya lagi dengan wajah cemberut.

Sorry, ya, daripada dengan gue lalu gue bawa sial buat orang-orang. Lebih baik gue menyakiti sementara perasaan mereka saja.

Entah apa maksud yang sebenarnya Cellin selalu mendekati dan mengganggu gue. Pernah menyimpulkan kalau Cellin itu .... Ah, gue tidak mau membahasnya.

Gue melirik sebentar bangku Cellin, dia sedang melihat gue sembari menggembungkan pipinya.

Maaf.

_________

Membosankan.

Nah awal mulanya lihat foto Misell yang ini kayak, 'jadiin visual Cellin masuk lah'.

6 Mei 2021

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

6 Mei 2021

ZWEITSON Where stories live. Discover now