Page 04

191 23 1
                                    

"Zwei pulang!" Gue setengah berteriak ketika sampai di rumah setelah pulang sekolah. Seperti biasa. Di rumah pun, harus tetap cerita. Kalau terlihat sedih, Ibu bisa-bisa menaruh curiga.

Ada Ibu sedang membuat adonan kue untuk pesanan pelanggannya. Iya, Ibu buka usaha rumahan. Karena ibu jago bikin kue dan kuenya enak-enak--apalagi lapis legitnya, Ibu buka toko kue di samping rumah. Bangunannya menempel dengan rumah dan langsung tembus ke dapur. Nama toko kue milik Ibu Zweit Bakery, lucu, diambil dari nama gue.

Sebagian uang hasil penjualan untuk didonasikan. Ibu tidak pernah mengambil keuntungan dari hasil penjualannya. Kata Ibu, sih, buka usaha untuk mengisi waktu saja, daripada diam saja tidak ada kerjaan. Agar tidak terlalu penat di rumah, karena Ayah melarang Ibu untuk bekerja. Sudah gue bilang, Ayah itu memang baik.

Tapi, sayang juga kalau kue seenak buatan Ibu tidak banyak yang tahu. Gue pernah merekomendasikan membuat toko yang lebih besar dan membuat cabang di luar kota, tapi bilang belum kepikiran sampai ke sana.

Gue sayang banget sama Ibu. Dia itu wanita paling sabar di hidup gue, paling hebat, paling baik dan paling tangguh. Ibu tidak pernah mengeluh dengan keadaan. Pokoknya Ibu itu segalanya.

Gue mengangkat tangan untuk salim, kemudian duduk di kursi samping Ibu untuk sekadar melihat wajah ramah dan cantiknya. Semasa sekolah, Ibu itu primadona sekolah. Jabatannya sebagai ketua ekskul Multimedia juga menjadi salah satu faktor keterkenalannya. Gue selalu antusias kalau Ibu menceritakan masa mudanya.

Alih-alih mengingat Ibu sedang bercerita sembari gue pandang, yang dilihatin malah celingukkan keluar. Ibu mencari apa, sih?

"Kamu nggak bawa Senja?"

Senja lagi, dan artinya gue harus bohong lagi. Kemarin memang sudah bohong, bakalan bawa senja hari ini. Mulut gue suka tiba-tiba terpeleset.

"Nggak ada, Ibu. Nanti, ya, kata Senja dia juga udah nggak sabar banget ketemu sama Ibu, udah nggak sabar pengen belajar buat kue sama Ibu ...."

Bodoh banget. Harusnya gue tidak bilang seperti itu kepada Ibu. Ini mulut kelewat lancang, tidak ada aba-aba langsung bicara seperti itu. Itu artinya gue sudah membuat harapan yang lebih besar terhadap Ibu. Ha, Zweitson, lo bodoh banget!

"Ibu jadi nggak sabar lihat Senja, pasti nanti seneng banget belajar bikin kue bareng Ibu."

Tapi, ada satu keberuntungan juga sebenarnya. Selama ini Ibu tidak pernah minta lihat foto Senja, atau tanya-tanya sosial media Senja. Kalau iya gue harus bagaimana?

Gue sangat ingin berbicara semua yang sebenarnya, tapi sisi lain gue belum sanggup. Gue terlalu takut dan pengecut. Padahal itu kesalahan yang gue buat sendiri. Apakah seperti ini seorang laki-laki sejati?

Langsung saja gue memeluk Ibu. "Maafin, Zwei."

"Gak apa-apa, Sayang. Next time aja kenalin Senja sama Ibunya."

Ibuuuu. Bukan maaf untuk itu. Ah, semakin kentara perasaan bersalah yang gue rasain kalau seperti ini caranya. Salah paham lagi.

Gue menyudahi saja acara peluk-pelukkannya. Kalau gini terus peluang gue menangis jadi lebih besar juga. Gue buka kacamata untuk mengusap embun di mata gue.

"Oh iya, Ibu ada sesuatu buat Zwei," kata Ibu sembari senyum-senyum.

Ah, gue tahu sesuatu yang Ibu maksud. Pasti kado ulang tahun untuk gue. Hari ini gue ulang tahun yang ke tujuh belas. Tengah malam Ibu memberi ucapan sembari membawa kue tart spesial yang dibuat khusus untuk gue. Sangat senang rasanya.

Tapi, gue juga sedih karena ayah tidak ikut serta. Tapi tidak apa-apa, paginya ayah mengucapkan juga kok. Ya sebatas memberi ucapan lalu kecup puncak kepala gue. Itu lebiiiih dari cukup, kecup puncak kepala lho. Dan itu menjadi salah satu yang baru. Gue harap ayah berangsur menjadi ayah yang dulu lagi.

ZWEITSON Where stories live. Discover now