Chapter 1 : Terhempas dan Terdampar

142 25 7
                                    

Pria paruh baya melepas topi kebesarannya, dan digenggam di salah satu tangan miliknya. Tangan yang lain bersandar pada pembatas kapal. Kedua mata cokelatnya memandang horizon laut yang terbentang luas di hadapan. Embusan angin menerpa wajahnya, menyebabkan rambut yang senada dengan matanya itu menjadi berantakan, menari liar ke sana kemari. Suara burung camar turut hadir, tidak kalah dengan suara para kru kapal yang tengah berbincang ringan. Sesaat kemudian, perbincangan itu terhenti berkat teguran tangan kanan kapten.

Tidak pernah terpikirkan di benaknya bahwa ia akan berdiri di kapal besar dengan puluhan kru penjelajah. Menikmati dunia, mengarungi samudra, dan mencari apa yang dicari. Orang-orang yang berdiri di kapal ini, memiliki latar dan tujuan yang berbeda. Satu yang menyatukan mereka yaitu, keinginan menjelajahi dunia.

Entah melihat penghuni laut dari permukaan, pulau-pulau kosong maupun berpenghuni, atau sekedar pemandangan laut lepas. Sama seperti orang-orang tersebut, pria bertopi juga sedang mencari sesuatu. Sebuah pulau tersembunyi yang membuatnya terus bertanya-tanya apakah pulau itu benar keberadaannya.

Diambilnya teropong kecil yang selalu dibawa dalam saku, dibuka tutup lensanya, dan pandangannya dibiarkan menjelajah luasnya samudera melalui lapisan kaca. Saat sudah merasa cukup, ia melangkah pergi masuk ke dalam ruang pribadi. Di sana ada meja yang di atas terdapat banyak barang petunjuk perjalanan, semacam peta, bujur, dan kompas.

Ia memperhatikan peta itu untuk sementara waktu, lalu mengambil bujur dan mulai memperhitungkan jarak sesuai perkiraan dan pengalaman hidupnya dengan laut. Disela itu, pintu ruangan terbuka dan menampakkan salah seorang kru kapal.

"Lapor, Kapten Wesley. Bintangnya terlihat jelas dan indah malam ini. Sayangnya, embusan angin kurang mendukung. Jadi, sepertinya untuk sementara waktu kita terjebak di sini," jelasnya sedikit kecewa.

Grey Wesley, pria dengan topi, mengukir senyum kemudian membalas, "Baiklah, kesempatan untuk beristirahat." Ia beranjak dari depan meja, lalu keluar dari ruangan itu diekori krunya.

Pria bertopi itu menghela napas. Menikmati terpaan dinginnya angin malam. Pikirannya hanyut tenggelam dalam aliran waktu, saat dimana bulan purnama terbentuk sempurna. Alasan yang membawanya sampai ke tempat ini, sebuah pertemuan yang membuatnya sadar bahwa dunia lebih luas dari yang ia pikirkan.

Waktu itu umurnya 15 tahun, masih urakan, kurus dan lapar. Dengan tenaga dan tekadnya yang bulat. Ia terus mendorong perahu kayu sederhana milik ayahnya menuju samudra luas yang hanya bermodal sinar purnama.

Kehidupannya tidak pernah mudah, terutama setelah ibunya pergi meninggalkannya berdua dengan sang ayah. Di malam hari sang ayah akan mencari ikan. Sedangkan di pagi hari dirinya akan menyisihkan ikan untuk dimakan bersama sang ayah sebelum sisanya akan ia bawa ke pasar untuk dijual. Selalu, berulang setiap harinya.

Rutinitas tersebut tidak dianggapnya begitu menyedihkan dahulu. Belakangan ia menyadari hidupnya sulit setelah menyandang status kapten dari kapal penjelajah raksasa. Ia ingat jelas pada hari itu, ketika badai laut menerjang hampir empat hari penuh. Sementara persediaan ikan milik mereka telah habis, dengan semangat dan tekad bulat, disinilah ia di perahu kayu sederhana milik ayahnya mencoba mencari ikan untuk keberlangsungan hidup mereka.

"Burung camar pertanda banyak ikan, bukan? Mereka selalu berkumpul di ujung kapal cepat, tapi untuk apa? Ya untuk mengejar ikan yang tersapu motor kapal!" serunya pada sang ayah pada suatu sore yang gelap. Ayahnya kala itu sedang menarik sampannya menjauh dari pinggir pantai, mencegah ombak besar membawa satu-satunya modal hidup.

Jangankan menoleh, ayahnya bahkan tidak berniat mendengarkan celotehan Kapten Wesley muda. Grey lantas menyentuh lengan ayahnya dan menunjuk ke arah laut lepas. Kumpulan burung camar terlihat berputar-putar tidak jauh dari permukaan.

"Pasti di sana banyak ikan!"

"Nak, hentikan omong kosongmu!"

Ayahnya membentak, membuat genggaman pada lengan tersebut lepas. "Burung camar memang pertanda banyak ikan! Tapi kenapa ikan-ikan itu ada di permukaan? Karena akan ada badai! Dan jika kumaksudkan badai maka badai yang sangat besar!"

Bentakan ayahnya cukup membisukan Grey muda, tetapi tidak cukup membuatnya gentar.

Ia menyimpan ide itu untuk dirinya sendiri. Jika sampai malam kumpulan camar tersebut masih ada, maka dia akan mengejarnya.

Namun, sedikit yang ia tahu, pemikirannya benar-benar jauh dengan kenyataan yang terjadi.

Angin laut malam kembali menerpanya, membuatnya menggigil kedinginan dalam kaus putih kusam dan tipis miliknya. Meski begitu semangatnya membara begitu dilihatnya ia semakin dekat dengan kumpulan burung camar.

Tiba-tiba petir menggelegar, disusul dengan ombak yang dengan liarnya berubah menjadi besar. Sekuat tenaga Grey mencoba mengendalikan perahunya. Sempat beberapa kali kesulitan karena ombak ditambah kencangnya angin malam adalah perpaduan yang sempurna.

Beberapa saat setelah Grey melakukan manuver berbahaya, akhirnya ia dapat bernapas lega. Dipikir ombak sudah tak sebesar yang sebelumnya tapi, malah dinding air setinggi 4 meter yang menyapa perahunya. Lalu, menghantamnya dengan keras begitu saja.

Grey mengerjapkan matanya cepat, menyesuaikan dengan lautan yang gelap dan dingin. Beruntunglah ia sebagai anak pantai, tidak sulit baginya untuk hanya berenang kembali ke permukaan.

Disaat itulah ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sampai saat ini. Banyak sisik berwarna biru kehitaman yang berkumpul, membentuk panjang layaknya sebuah ular besar.

Napas yang ia tahan seketika lepas, dan mendadak, ia lupa cara melayang di bawah air. Dengan segera, ia gerakkan tangannya. Berusaha agar mencapai permukaan secepatnya. Hingga beberapa saat setelah berjuang dengan lautan gelap nan dingin ia muncul di permukaan, mencoba mengendalikan napasnya. Dadanya kembang-kempis tak karuan, bayangan tentang sosok tadi masih menghantuinya.

Dan itu bukan satu-satunya yang akan menghantuinya pada umur itu.

Pandangannya jatuh pada beberapa serpihan kayu yang mengambang, sesak terasa di dadanya. Perahu berharga milik keluarganya, alat untuk ayahnya mencari makanan, kini telah rusak begitu saja karena kecerobohannya.

Dia harus minta maaf pada ayahnya. Harus. Namun pertama-tama, ia harus tahu bagaimana caranya kembali ke rumah dan yang terpenting adalah menjauh dari entah mahluk apa yang dilihatnya di kegelapan tadi.

Badai laut tiba-tiba kembali menerjang, sementara mulai terasa bagaimana tubuhnya yang mulai kelelahan dan menggigil kedinginan.

Sebuah pertanyaan muncul di benaknya, saat matanya bertemu dengan daratan yang ia tak kira berada di tempatnya sekarang.

Namun, badannya semakin lelah dan hujan badai yang semakin kencang, Grey memutuskan berenang mendekat. Merasakan bagaimana butiran pasir pantai kembali menyapa kakinya.

Dengan rasa lelah dan lapar yang makin menguasai, bersama kaki gontainya ia semakin masuk ke dalam hutan di pulau yang baru saja ia temukan tersebut.

Ditambah dengan badai yang tidak kunjung reda. Untungnya, ia menemukan sebuah gua. Dan tanpa pikir panjang, ia langsung memasuki gua tersebut merasakan bagaimana tetesan tetesan air berjatuhan dari atap gua gelap itu.

Petir menggelegar, sementara Grey makin memeluk kedua kakinya erat. Entah dimana ia sekarang, ayah pasti sangat khawatir padanya. Ia juga harus meminta maaf, telah merusakkan kapal ayahnya tersebut. Ditambah dengan pemikiran makanan untuk esok hari dan tak lupa mahluk aneh yang ia temukan di kedalaman laut tadi, matanya memberat sampai akhirnya ia biarkan rasa kantuknya mengawal dirinya. Membiarkan hari esok untuk membantunya di tengah kekacauan yang dialaminya.

🌊🐢🌊🐢🌊🐢🌊🐢

Ya ampun. Gimana nih nasib Grey Wesley selanjutnya. Bisa bertahan hidup kah?

Penasaran dengan kisah Kapten Wesley? Tunggu chapter berikutnyaaaa.

Jangan lupa vote, comment and share jika kalian suka.

See you next chapter! ^•^

AVENOIR : THE LOST TALE OF ENIGMA TURTLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang