Chapter 2 : Keindahan yang hilang

69 19 8
                                    

Matanya mengerjap silau, sinar matahari berhasil menembus rimbunnya pepohonan dan mengenai wajahnya. Hangat. Perlahan ia bangkit mendudukkan diri, sembari memindai keadaan sekitar. Indah namun sepi, tidak seperti perkampungan nelayannya.

Fokusnya buyar begitu mendengar suara aneh dari perutnya, yang perlahan menjalar naik menjerat tenggorokan. Ia berusaha keras berdiri dengan badan lemas dan kaki gemetar. Jalannya sempoyongan mencari apa saja yang bisa dimakan dan diminum guna mengganjal perut barang sebentar.

Pepohonan yang tumbuh terlihat subur, dengan buah-buah sebagai hiasan. Perhatiannya langsung beralih ke bawah, merahnya apel yang paling mencolok dan menarik perhatian untuk diambilㅡmengingat betapa langkanya buah ini di perkampungan nelayan.

Grey buru-buru berjalan menghampirinya, lalu mengambil yang terdekat untuk dimakan. Gigitan pertama berhasil membuatnya melayang, rasanya benar-benar manis. Ia akhirnya duduk di bawah rindangnya pohon, sembari mengunyah dan memperhatikan sekitar.

Pikirannya berkecamuk liar perihal sepinya pulau. Tanpa sadar, sebuah apel itu telah habis dilahapnya. Ia kemudian berdiri, dan berjalan mengambil jaring bekas yang tergeletak di dekat pohon. Menggunakan keterampilan berlautnya, ia mengakalinya menjadi sebuah ransel. Diambilnya semua apel yang jatuh, lalu dimasukan ke dalam. Ia berniat memberikannya pada sang adik begitu kembali nanti.

Melanjutkan aksi menjelajah, ia menemukan lebih banyak sumber makanan aneh. Seperti blueberry, murbei, dan makanan lain yang belum pernah dilihatnya. Ia ingin sekali membawa pulang semuanya, hanya saja ranselnya tak dapat menampung lebih banyak lagi. Batas maksimalnya telah tercapai. Bahkan dengan berat hati, ia terpaksa melewati seekor ikan kerapu begitu saja.

Kali ini, ia dihadapi dengan tebing yang tidak begitu curam. Penasaran akan apa yang ada di baliknya, Grey mengambil ancang-ancang untuk memanjatnya. Tidak sesulit yang ia duga, bahkan setimpal begitu melihat sungai tersembunyi.

Senyum lebar terukir. Ia melangkah maju mendekat, memutarinya, dan bermain air di tepi. Menikmati kesenangan dalam kesendirian yang terasa aneh, sebab sebelumnya ia kira riwayatnya sudah tamat dan ini adalah surga. Ya, sebelum tangannya tergores batu.

Darah menyebar secepat ia memudar. Fokus Grey tertuju pada tangan dan perih yang dirasa, tidak sadar akan kehadiran sosok asing nan cantik di hadapannya.

🌊🐢🌊

Peluh menuruni dahinya, tak terkira sudah berapa kali ia memutari penjuru pantai. Rasa takut terasa semakin kuat, matanya liar mencari kesana sini walau yang dicari entah ada dimana batang hidungnya.

Percakapannya dengan anak sulungnya hari kemarin terputar ulang di benaknya. Sampai kini ia terus berpikir, bagaimana bisa anaknya tersebut mempunyai pemikiran seperti itu jika sudah jelas segala hal yang ia maksudkan adalah pertanda badai besar.

Tentu saja. Anak nya yang satu itu benar - benar mewarisi ibu nya bukan?

Pemikiran aneh, keras kepalanya. Tak sebuntu yang dikira, Adam sudah dapat menduga kemana Grey pergi saat melihat perahu kayunya tak ada dalam barisan perahu perahu lainnya.

Namun saat siang terus menyingsing sementara anaknya tersebut sama sekali belum terlihat, rasa khawatir mulai melingkupi dirinya.

“Apa kalian sudah menemukan dia?”

“Tidak, belum. Kami akan terus mencarinya.”
Jawaban tersebut membuat ia semakin putus asa, sementara pandangannya kini menerawang jauh menuju lautan lepas.

Ia sudah kehilangan Emma, tidak lagi ia kehilangan seorang dari keluarganya. Lagipun apa yang akan ia katakan pada Emma di setelah kehidupan, jika ia kehilangan Grey anaknya.

🌊🐢🌊

Menyadari ada bayang-bayang aneh di hadapannya, Grey pun menengadah. Alangkah terkejutnya ia mendapati sepasang bola mata indah yang tengah menatapnya dengan cara yang sama. Penampilannya begitu … aneh. Rambut basah dan mata yang selaras berwarna biru kehijauan, lalu permukaan kulit yang ditumbuhi sisik, dan sela-sela jarinya yang berselaput.

Tubuhnya tersentak begitu sadar, bahwa sosok di hadapannya bukanlah manusia. Matanya masih bertumbuk dengan sosok tersebut, walau kakinya menarik langkah mundur guna menjauh.

Sosok itu tersenyum manis, terlihat semakin memukau ketika tubuhnya perlahan bergerak. Menari dengan hembusan angin, dan gemericik air.

Pikirannya berkecamuk liar, ia merasa tidak aman namun senang. Kendalinya atas pergerakan kaki tidak bisa dihentikan, terus melangkah maju, mendekat, kembali menyentuh air.

Grey menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menyadarkan dan mengendalikan dirinya sebelum hal buruk benar-benar terjadi. Darah mengalir melewati dagu, menetes masuk ke dalam air, menguar bau yang lebih tajam lagi.

Tanah bergetar hebat, menarik Grey sepenuhnya kembali ke realita. Kali ini, kepala penyu raksasa menyembul dan pandangan mereka bertumbuk. Tubuh Grey benar-benar membeku, bahkan napasnya tercekat dan debar jantungnya menggila.

Tak lama setelah itu, suara asing yang berasal dari kepala itu mengalun masuk ke indra pendengarannya. Disusul pandangan ia yang menggelap, dan kesadarannya hilang.

🌊🐢🌊

Bagaimana dengan chapter ini? Sudah mulai terbayang bagaimana pulaunya? Hihi.

Penasaran dengan akhir kisah Grey? Wait on the next week. ^•^

AVENOIR : THE LOST TALE OF ENIGMA TURTLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang