Pengakuan tanpa Jawaban

78 16 6
                                    

Juleha berlari di koridor kampus menuju kelas Pak Asep berada. Peluh mulai membanjiri wajahnya yang sesekali ia seka. Wajahnya terlihat panik seakan baru saja mendengar berita mengejutkan.

"Satu lantai lagi!" batin Juleha saat hampir mencapai kelasnya. Gadis itu mempercepat larinya sambil melirik ke pergelangan tangannya.

Masih sempat!

Brugh!

Juleha tak sengaja menabrak bahu cowok yang baru saja akan keluar kelas. Cowok itu terjatuh dengan tidak mulus dan membuatnya meringis menahan sakit. Sementara Juleha tetap berdiri dan melirik sebentar ke arah Danu yang terjatuh, kemudian segera menuju bangkunya di sudut ruangan.

"Heh, Panjul! Kalo jalan tuh liat-liat, dong! Sakit nih!" teriakan Danu melengking sempurna memenuhi isi kelas. Tangannya masih mengelus-elus bokongnya yang dengan apesnya mencium lantai lebih dulu saat terjatuh tadi.

"Elaaah ... cuma jatoh begitu doang aja histeris amat!" cibir Juleha dengan tampang tak berdosa, lalu duduk manis di samping Diva yang sedang menahan tawanya agar tak pecah dan membuat Danu makin kesal.

"Dasar cewek jadi-jadian! Pantes aja Romeo nolak berkali-kali. Mana mau dia sama cewek nggak jelas macam kamu gitu!" cecar Danu tak mau kalah.

"Idih, itu mah bukan ditolak, Panu! Tapi masih mikir."

Danu yang emosi mengembuskan napas kasar melihat cengiran kelinci milik temannya itu setelah seenaknya mengganti nama orang seenaknya.

Kalau ngeladenin cewek gila ini bisa sampe tujuh turunan sembilan tanjakan nggak kelar-kelar!

Akhirnya, Danu mengalah dan keluar menuju kantin. Ia hampir lupa niatnya semula yang ingin membeli map padahal bel masuk tinggal lima menit lagi. Buru-buru ia berlari ke arah kantin.

"Kamu tega banget ya, Jul. Kasihan tuh anak orang pagi-pagi udah dibikin emosi."

Juleha tak mengindahkan protes Naira yang ada di bangku depan. Tangannya mengeluarkan novel terbaru dan mulai membacanya karena ternyata dosennya bakal datang telat. Juleha merasa sia-sia berlari sepanjang koridor demi nilai kehadiran yang sudah hampir hancur karena keseringan telat. Sepulang sekolah kemarin, Juleha mampir sebentar ke toko buku diantar Romeo. Sebenarnya bukan buku yang ia incar, melainkan kebersamaannya dengan Romeo.

Juleha mencoba menekan egonya hingga ke titik terendah, ia maju lebih dulu untuk menyatakan perasaannya. Sudah jadi rahasia umum jika kedekatan mereka bukan sekadar persahabatan. Namun, ketika Juleha mengungkapkannya, Romeo tak memberi jawaban. Hanya usapan di rambut yang membuatnya bingung. Romeo menerimanya atau tidak?

"Dia mana peduli sama si Danu. Di otak dia kan cowok itu cuma ada si Romeo doang!" timpal Salsa.

"Hahaha ... kamu bener, Sa! Eh, by the way si Romeo tumben belum nongol? Sebentar lagi dosen datang, loh!"

Pertanyaan Diva refleks membuat aktivitas Juleha terhenti. Ia menyapu seluruh ruangan mencari sosok Romeo. Padahal, jelas-jelas tadi ia berangkat bersama Romeo seperti biasanya, sebelum ia berlari panik dan meninggalkan Romeo di parkiran.

Baru saja Juleha berdiri berniat mencari Romeo, empat orang cowok dengan tampang di atas rata-rata masuk kelas beriringan. Di antara mereka, Juleha menemukan sosok yang sedari tadi ia cari.

Romeo, Alan, Danu, dan Vano memang cukup terkenal di kampus ini. Saat berjalan di koridor, mereka bertingkah layaknya Oppa-Oppa Korea yang bisa membuat gadis-gadis meleleh melihat pesonanya. Sayangnya, hal itu tidak berlaku saat mereka ada di dalam kelas.

"Wah, makin hari aku perhatiin My Juliet makin cantik aja. Jadi pengen peluk!" seru Vano yang kini sudah berada di samping Juleha yang sudah bersiap dengan tinjunya.

Vano yang merentangkan tangannya seolah siap memeluk itu langsung mendapat toyoran keras dari belakangnya. Wajah oriental dengan tambahan lesung pipi itu menatap Vano geram.

"Apaan sih, Lan? Nggak bisa banget liat temen senang!" semprot Vano yang balas mendelik ke arah Alan.

"Lagian, kenapa juga main sosor gitu?" bentak Alan yang membuat keempat cewek di hadapan mereka terpesona. Namun tak berlangsung lama, berganti dengan dengusan kasar setelah Alan melanjutkan kalimatnya. "Aku duluanlah!"

Belum lagi Alan melancarkan aksinya, sebuah jitakan tepat mengenai kepala cowok bermata sipit itu. Siapa lagi kalau bukan ulah sang bodyguard, Romeo. Matanya mendelik ke arah Vano dan Alan bergantian. Nathan yang kalem hanya menggeleng melihat tingkah ketiga sahabatnya jika sudah bertemu Juleha.

"Ah, Romeo! Namanya juga usaha!" gerutu Vano sambil berlalu ke tempat duduknya bersama Nathan.

Juleha dan ketiga sahabat ceweknya tertawa. Salsa melirik Nathan yang tidak ikut dalam kesengitan yang terjadi pada tiga sahabatnya. Ia menatap cowok itu dalam. Merasa diperhatikan, Nathan menoleh dan menangkap basah Salsa yang langsung gelagapan. Ia tersenyum melihat rona merah di wajah gadis itu.

Alan sendiri masih tebar pesona pada Juleha, sedangkan si cewek malah asyik menatap Romeo yang berbalik menuju mejanya. Langkah Romeo terhenti saat dengan lantang Juleha berteriak menyebut namanya.

"Rom, besok aku tunggu jawabannya, ya!"

Cowok itu hanya tersenyum. Ada perasaan aneh di hati Juleha melihat senyum itu. Seolah, jawaban yang ia harapkan tak akan pernah terucap dari bibir sahabat masa kecil sekaligus cinta pertamanya itu.

***

"Apa?" tanya Romeo yang baru saja datang untuk menjemputnya. Pasalnya, rumah mereka hanya terhalang satu rumah. Jadi, sudah menjadi kebiasaan Romeo untuk berbagi tumpangan dengan Juleha.

"Jawabannya?" Juleha tanpa malu lagi bertanya untuk yang ke sekian kalinya. Pengakuan ini bukanlah yang pertama, makanya Juleha menilai egonya sudah sangat rendah karena terus mengharap jawaban yang entah kapan diberi jawaban.

"Cepat naik! Nanti kita terlambat lagi. Ada kelasnya Bu Tania pagi ini." Romeo berkilah dengan alasan guru killer.

Meski kesal, Juleha menurut saja. Ia tak mau jika harus mengulang kelas Bu Tania yang terkenal pelit dengan nilai itu.

Laju roda dua milik Romeo membelah pekatnya lalu lintas ibu kota di pagi hari. Untung saja ia tahu jalan-jalan tikus supaya bisa lebih cepat sampai kampus.

"Rom, kalau besok kamu nggak ngasih jawaban juga, aku bakal terima Alan. Aku tahu dia beneran suka sama aku. Bagaimana menurut kamu?"

Juleha mencoba menerka arti dari wajah bule milik Romeo yang terlihat di spion. Sungguh, Juleha tak bisa menyimpulkan apa-apa. Romeo adalah manusia es yang tak memiliki ekspresi.

"Terserah kamu. Kalau kamu suka, terima saja."

Juleha terenyak. Sebegitu tak pedulinyakah Romeo dengan pernyataan cintanya? Maksud hati membuatnya cemburu, tapi malah sakit hati yang didapat.

Sepanjang perjalanan, Juleha terdiam. Hatinya bergemuruh dengan cairan hangat yang bersikeras ingin menembus pertahanannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Romeo untuk JulehaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang