Memang kenapa kalau suka sama pacar teman sendiri?
Kan, cuma suka.
---
“La, Aqua satu."“La, sedotannya mana?”
“La, tusukin, dong. Gue nggak bisa, nih ….”
“Kok, si Giman duluan, La? Najis banget bekasan dia.”
“Apaan manggil gue?” kata seorang cowok berwajah lusuh di tengah lapangan sedang menggigiti sedotan di Aqua gelasnya. Di tengah teriknya matahari yang memanggang bumi, cowok berkaca mata, berkulit agak gelap itu menguap tidak semangat di antara riuhnya lapangan.
Sedang yang sedari tadi menjadi sumber rebutan teman sekelasnya menggeram kesal, rasanya ingin menabok satu per satu mulut yang memanggil-manggilnya dengan sekenaknya. Rambut bob-nya sudah nampak lepek akibat keringat yang terus mengalir.
Kalau nggak ingat sedang berada di keramaian, mungkin Lara sudah menggaruk kepalanya, karena sungguh … panas, gerah, dan kesal adalah perpaduan yang sempurna untuk garuk kepala disertai teriakan marah-marah. Memang mereka pikir Lara apaan? Enak banget mereka nyuruh ini-itu, ke sana-kemari. Lara itu anak PMR bukan kacung IPA 3. Seharusnya tugas dia cuma bagiin aqua untuk semua pesrta OSIS CUP biar mereka nggak dehidrasi selama perlombaan. Tapi teman-teman biadabnya malah mengambil kesempatan dalam kesialan Lara. Kalau aja Yara nggak sakit dan izin nggak masuk sekolah, dia pasti lagi cengar-cengir bahagia sambil mandangi wajah kalem Juno yang memerah karena kepanasan dari balik lensa kamera.
Lara memajukan bibir bawahnya melihat Icha, teman sekelasnya yang kalau senyum ada lesung pipitnya sedang berduaan dengan Juno di sisi lapangan, harusnya Lara yang ada di posisi itu. Juno yang mengawasi jalannya pertandingan dan Lara yang menjadi photographer untuk mengabadikan moment yang hanya ada satu tahun sekali itu. Tapi lagi-lagi karena Yara, dia harus berakhir jadi jongosnya sekolah bersama anak PMR yang lain.
“Kenapa lo? Udah jelek malah manyun gitu, makin mirip badut Ancol,” celetuk seseorang tiba-tiba, membuat gadis bertubuh minimalis itu menengadahkan wajah dan segera menendang kaki orang yang menepuk bahunya tadi.
“Sakit, bego!” cowok jangkung itu sudah mengumpat sambil mengurut pelan tulang keringnya yang menjadi sasaran tendangan Lara.
“Itu belum seberapa, ya, Kak kalau dibandingkan sama hati gue yang harus kerja keras menetralisir racun karena ulah lo.”
Seno, cowok yang sudah bingung ke mana arah pembicaraan Lara membungkukkan tubuhnya, memajukan wajah lantas menempelkan punggung tangannya hingga menutupi kening Lara sepenuhnya. Tapi langsung ditepis begitu saja oleh Lara. “Apaan, sih, lo?”
“Lo yang apaan? Tiba-tiba nyiksa gue. Untung gue cowok yang sabar dan nggak main kasar sama perempuan.”
Lara menarik napas, menahannya hingga pipi bulatnya menggembung sempurna. “Karena lo yang nyuruh gue gantiin tugas Yara. Gue harus jadi tukang angkat Aqua. Padahal, kan, harusnya gue jadi seksi dokumentasi.”
Seno terdiam beberapa saat, kemudian tertawa kecil, tapi tetap saja menyebalkan. Sekarang Seno paham apa maksud ucapan Lara tadi, dia menepuk-nepuk kepala Lara masih dengan sisa tawa menggejeknya. Mata hitam Seno menatap dua orang yang sedang bertukar senyum. Bikin iri aja.
“Ya elah, La. Masih aja lo berambisi jadi PHO? Ada kali yang tinggi, putih, dan gantengnya nambah kalau lagi pake kaos hitam selain si Juno.” Kali ini tendangan Lara meleset, hanya mengenai angin kosong. Seno sudah memprediksi respons gadis mungil itu. Selalu menyenangkan kalau melihat Lara kesal, jatuhnya jadi mirip Jerry yang kekenyangan sedang berjalan.
“Udah dibilang jangan dibahas!” nah, kan, bener. Semakin besar amarah seorang Alara Natasha, maka semakin ingin Seno mencubit pipi berisi itu. Seno jadi ingat bagaimana dia bisa akrab dengan gadis yang kelihatannya pendiam, irit bicara, dan pemalu. Tapi bisa berubah jadi macan ngamuk kalau sudah kenal dekat dengan Lara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Lara
Teen FictionKarena insiden peminjaman ponsel, Lara menjadi bulan-bulanan Seno, seniornya. Seno jadi tahu kalau Lara suka Juno, ketua OSIS di sekolah mereka. Suatu hari, tepatnya pada perlombaan OSIS CUP dengan iseng Seno mencium Lara di lapangan sekolah, dan k...