Bab 3

4 0 0
                                    

POV Violance

Sekarang sudah akhir pekan, seharusnya aku pergi bersama Varell karena memang menjadi salah satu rutinitas kami untuk mengisi waktu weekend bersama. Berbeda dari biasanya, aku merasa tidak bersemangat hari ini. Saat ini sudah pukul 9 pagi padahal, 2 jam lagi, Varell datang ke rumah untuk menjemputku. Kami berencana belajar bersama hari ini. Ketika sedang memilih baju yang akan kukenakan nanti, tanpa sadar sudah kuserakkan di atas tempat tidur. Kuhempaskan badanku di atas tumpukkan baju-baju itu dan melihat langit-langit kamarku. Aku menyadari bahwa ternyata semua perjuanganku selama ini sia-sia. Sadar bahwa ternyata cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.

Percuma.

Aku memperjuangkan seseorang yang melihatku sebatas sahabat saja. Hatiku sakit. Pikiranku dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif. Aku mulai merasa tidak percaya diri. Aku mulai membanding-bandingkan diriku dengan semua perempuan yang pernah hadir dalam kehidupan Varell, termasuk Cheerin. Seandainya aku tidak berteman dengan Varell, dia pasti sudah bersama dengan perempuan yang dicintainya. Varell seorang yang tampan, tinggi, hebat dalam permainan basket, dia terlalu sempurna untukku.

Sepertinya aku yang menjadi penghambat di dalam kehidupannya. Mungkin memang seharusnya aku tidak bertemu dengannya. Sial. Kenapa kami tinggal di kompleks yang sama sih? Kenapa juga kami harus selalu berada pada sekolah yang sama dari kecil sampai sekarang? Seolah hanya aku yang terjebak dan hanyut dalam masa lalu kami. Ingin rasanya, aku melarikan diri dari semua kenangan manis yang menghantuiku ini.

10 Tahun yang lalu,

Mobil sedan yang dikemudikan papa melaju dengan cepat. Aku yang saat itu masih berumur 7 tahun sangat senang selama dalam perjalanan menuju rumah baru kami. Mama tidak berhenti menatapku dengan senyuman ketika aku bersenandung dengan riang sambil mengelus hewan peliharaan kami. Kami menjual rumah lama kami. Katanya hal itu dikarenakan kompleks lama kami terlalu dekat dengan jalan raya, bahaya jika aku bermain di luar rumah. Kompleks baru kami terlihat lebih sejuk dan minimum dari polusi udara, selain itu ada taman bermain yang besar. Aku sudah sangat bersemangat, untuk tiba di rumah baru kami. Ketika sampai di depan rumah baru kami, sudah ada beberapa orang yang mengeluarkan barang-barang pindahan kami dari dalam truk. Papa menyuruhku untuk bermain di luar dulu karena akan ada banyak barang yang harus dibawa masuk ke dalam rumah. Ia khawatir jika aku terluka. Aku yang saat itu masih kecil, hanya bisa menurut. Aku berjalan dan sesekali berlari kecil melihat setiap rumah yang ada di sekeliling rumahku. Aku terhenti pada satu rumah yang mempunyai taman bunga yang sangat indah. Ketika aku sedang mengamati bunga itu dari dekat, terdengar suara wanita yang nadanya meninggi ketika melihatku, "Ngapain kamu? Ternyata kamu ya, yang selama ini ngerusak taman bunga saya?!". Aku terdiam, memaku. Hampir saja aku lolos jika anak laki-laki ini tidak menghentikanku.

"Minta maaf."

"Hah? Tapi, aku kan nggak ada salah apa-apa."

"Kamu masuk ke taman orang lain, itu nggak boleh."

Anak itu menghalangiku dengan sepedanya. Aku hampir menangis. Dengan cepat aku meminta maaf kemudian segera berlari, pulang. Sesampainya di rumah, aku cukup lama menangis di pangkuan mama, walaupun aku tahu letak kesalahanku karena mama sudah menjelaskannya. Sebenarnya, aku menangis bukan karena merasa tidak melakukan kesalahan, melainkan karena rasa malu dan kesal. Mama dan papa menghiburku dengan kamar baruku yang ternyata sudah rapi dan siap digunakan malam ini. Aku merasa sangat terhibur. Tanpa aku sadari aku sudah dapat melupakan semua kekesalanku hari ini.

Pagi hari keesokan harinya, aku bersiap-siap untuk bersepeda. Kali ini, mama tidak membimbingku karena kompleks kami cukup aman sehingga mama menyusun dan membereskan barang-barang yang masih belum di letakkan di tempat yang seharusnya. Aku mengemudikan sepeda roda dua merah mudaku dengan hati-hati agar tidak terjatuh, bahkan aku sudah memakai perlindungan kepala, helm yang warnanya juga serasi dengan sepedaku. Memang aku belum terlalu mahir dalam bermain sepeda, tidak buruk untuk hanya mengendarainya dengan berjalan lurus kedepan. Jika aku harus memutar balik atau berbelok, aku harus turun dan memutarnya secara manual. Tidak terlalu buruk bukan?

What IfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang