"Almira... Kyara... HAH?!?!?!? KORLAP!?!?!?!?!???"
Gadis berambut sebahu itu hanya bisa mengangguk tatkala temannya baru saja membuka sebuah tautan yang dihubungkan pada PDF. Berulang kali orang di depannya terus menerus melirik dirinya dan ponselnya secara bergantian sampai membuatnya risih hingga berakhir dengan jatuhnya ponsel di atas meja rumah makan yang mereka tempati saat ini.
"Eh, anjir! Hape gue juga jangan jadi korban lo!" dengan sigap ia mengambil dan mengelus gawainya—layaknya anaknya sendiri—yang baru saja mencium permukaan meja yang sepertinya baru dilap beberapa menit yang lalu sebelum mereka datang. Untung saja masih utuh.
Kawannya itu mendecih, kemudian kedua matanya memindai kondisi gadis di depannya ini. Rambut sebahunya yang bergelombang akibat sering dikucir asal, pakaian hitam berlengan panjang—mana sok dilipat sampai siku, kombinasi raut wajah datar nan galak, bahkan cara jalannya saja tidak ada anggun-anggunnya sama sekali.
"Tapi lo emang cocok jadi korlap, sih."
Celetukan tak mendasar itu—menurutnya—membuatnya memelototkan kedua matanya. Bingung sekaligus heran, bagaimana bisa orang yang sudah dikenalnya lama ini menciptakan penilaiannya sendiri atas dirinya. "Asumsi mana lagi yang bikin lo kayak gitu?" tanyanya dengan jengah, "Dah jelas-jelas porto gue isinya *PDD semua."
*PDD: Publikasi, Dokumentasi, Dekorasi
Jasmine, gadis yang sukses menyeretnya untuk duduk di meja restoran ayam geprek itu pun menatapnya saksama. "Gini lho, cintaku..." ujarnya sembari menyeruput thai tea bertopping boba itu. "Lo aja dandanannya udah sangar gini, suram-suram gitu," ucapannya terpotong karena Jasmine mengaduh setelah dahinya disentil sembari disambut umpatan suram, suram. Gundulmu! "Suramnya kayak yang gak ada aura cerah dari elonya. Mana lo hobinya pake baju yang warna item, dark grey, biru dongker, ijo army, abu-abu cerah—tuh, abu-abu aja ada yang cerah! Aduh, Mira!—balik lagi ke item lagi, item lagi. Gimana gak ditaro di korlap? Apalagi tampang lo aja udah orang kayak nahan boker. Makin-makin dah, lo."
"Iya. Yang makin-makin otak lo gara-gara minum yang kebanyakan gula."
Jasmine hanya menyengir setelah menatap dua kotak susu cokelat di depannya.
"Tapi gue juga bingung sih, kenapa bisa-bisanya lo masuk korlap. Kayak yang karir lo dari dulu di PDD mulu. Di kepanitiaan, himpunan, bahkan porto lo aja isinya PDD semua." Ia menyeruput thai teanya lagi. "Satu fakultas—eh, gak!—satu kampus aja tau julukan lo sebagai PDD Abadi."
Ia hanya bisa meringis ketika kalimat terakhir itu terucapkan oleh Jasmine. Satu fakta umum yang diketahui oleh publik, bahkan oleh dosennya sendiri. Sesama mahasiswa yang tidak ia kenal pun tahu siapan dirinya. Almira, PBSI awal tahun ketiga, PDD Abadi sejak kepanitiaan pertama. Lolos *ormawa karena keahliannya yang langka SDM-nya. Dengan semua track record yang dimiliki, konyolnya justru ia menjabat sebagai Kepala Divisi Koordinator Lapangan Campus Fest.
KAMU SEDANG MEMBACA
Campus Fest
General FictionNyatanya, memiliki paraban PDD Abadi tidak membuatnya selalu berkecimpung di dunia pereditan duniawi. Justru saat pelelangan jabatan, ia malah lolos sebagai Kepala Divisi Koordinator Lapangan. Dan semua cerita bermula ketika ia mulai mengemban jabat...