“Hi, i love you.”
•••
Arven mengernyit tidak mengerti.
Sejak kapan ada kotak kecil di depan pintu kamarnya?
Dia baru saja pergi ke dapur untuk mengambil satu kotak banana milk dan beberapa tusuk corndog mozarela, itu pun tidak sampai tujuh menit. Kalau di pikir-pikir, Arven seharusnya bisa melihat siapa yang masuk ke rumahnya.
Atau, dia bisa mendengar deru langkah kaki orang lain.
Cowok itu menatap sekitar rumahnya. Tidak ada siapa-siapa. Mama dan Papanya pasti masih dalam perjalanan ke rumah neneknya di Bandung, adiknya juga belum pulang bermain basket di lapangan kompleks bersama teman-temannya.
Apa ini kelakuan jahil Sakala?
Arven merengut sebal. Dengan tangan yang kesusahan membawa satu piring besar, dia menendang pintu kamar kakaknya yang berada tepat di samping kamarnya. Menggedornya keras dengan kaki.
"Saka, keluar lo!"
Arven sedikit kesal saat tidak mendapat sahutan. Gedoran kakinya makin mengeras. "Saka!"
"Apa sih?" Seorang cowok jangkung berdiri di belakang Arven dengan wajah lelah penuh keringat. Kelihatan kalau dia baru saja lari sore sekitar kompleks.
Saka meregangkan ototnya yang kaku. Mengangkat alis ke atas tidak mengerti kenapa Arven meneriaki namanya?
"Elo kan yang naruh kotak disini?" Arven menendang kecil kotak di bawahnya. Menatap Saka sedikit sinis.
Saka merunduk. Lalu mengangguk singkat. "Iya," jawabnya cuek. "Gue lihat tuh kotak nangkring di depan pintu rumah."
"Terus kenapa lo taruh di sini?"
"Tujuannya kan emang ke elo," Saka menundukkan punggungnya, memungut kotak kecil yang dia dapat di depan rumah itu lalu memperlihatkannya ke Arven. "Nih, ada tulisannya. 'To A', inisial nama lo kan a bukan s. Kalau buat gue, udah gue buka dari tadi."
"Buat gue?"
Saka mengangguk gemas. Dia memberikannya ke Arven. Arven menerimanya dengan tangan kiri walaupun masih mengernyit. "Punya pacar nggak bilang-bilang lo!"
"Gue nggak punya pacar!" kilah Arven mengelak.
"Halah, malu-malu kambing lo," kata Saka agak sinis. Jengkel juga kalau Arven benar mempunyai pacar. Saka merasa dia di lompati adiknya sendiri. Cowok itu bergumam lirih. "Masih gantengan gue juga."
Arven melengos tidak peduli. Dia membuka pintu kamarnya, masuk ke dalam dan membanting pintu di hadapan Saka.
Saka mengumpat. "Biadab!"
Sementara Arven, setelah meletakkan piring di atas kursi balkon, dia menatap kotak kecil itu. Mengernyit dalam. Arven sempat berpikir. Siapa yang mungkin mengirim ini untuknya? Cowok itu jelas tidak pernah membeli benda atau apapun itu secara online. Dia terbiasa berbelanja sendiri di mall.
"Apa bener ini buat gue?" Arven menatap surat yang di tempel menggunakan lem itu dengan dalam. Seketika mengernyit saat membaca tulisan yang tertulis di sana. Dia segera mencabutnya cepat.
"Hi, i love you?"
Arven bergidik. Merasa agak jijik membaca kalimat lebay itu. Cowok itu segara membuangnya ke luar balkon, tidak peduli kalau saja Mamanya marah jika halaman rumahnya jadi tempat pembuangan.
Dengan cepat, Arven membuka solasi yang menjadi perekat untuk menutup kotak itu. Mengeluarkan isinya yang ternyata juga di tutupi bungkus kado. Menghela nafas sabar, dia menyobeknya dengan sekali sentakan.
"Cokelat?"
Arven paling tidak suka makanan, warna, rasa atau apapun yang berbau cokelat. Cowok itu lebih suka susu dan makanan pedas. Jadi, saat isi bungkus itu ternyata cokelat, Arven segera meletakannya kembali di kotak. Beranjak keluar dan menggedor pintu kamar kakaknya.
"Saka!"
"Saka keluar lo!"
Saka membuka pintu kamar dengan malas. Menggusah nafas dengan sabar. Masih dengan baju yang sama seperti saat dia sedang lari sore tadi, cowok itu menatap adiknya. "Apa lagi?"
"Nih buat lo," Arven menyodorkan cokelat itu kepada Saka dengan paksa.
"Bukannya ini punya lo?" Kening Saka sedikit mengkirut bingung. Arven menggeleng tidak mau tau.
"Gue nggak suka coklat."
"Jadi ini beneran buat gue?"
Arven mengangguk saja. Cowok itu melangkah cepat masuk ke kamarnya lagi meninggalkan Saka yang terlihat senang mendapatkan camilan kesukaannya.
Arven tidak pernah tau, kalau cokelat itu akan menjadi hal pertama yang membuat hari tenangnya sedikit terganggu.
•••
Cerita ini buat ganti cerita Ending Scene hehehe. Pengin aja gitu buat cerita yang kek ada rahasia gitu.
Btw, gue juga nggak suka cokelat, tapi suka banget sama es krim rasa cokelat v_v
KAMU SEDANG MEMBACA
Chunks of Chocolate (On Going)
Teen FictionAkhir-akhir ini, Arven merasa beberapa hal terjadi pada dirinya. Yang pertama, setiap pulang sekolah, Arven selalu merasa di buntuti seseorang berhodie cokelat. Kedua, dia selalu mendapatkan sepuluh surat dengan kertas berwarna merah muda, anehnya...