Teras Bapak

10 1 0
                                    

"Mas, penghapuse pinjam" kataku, ketika aku lihat, ada yang salah dengan gambar seorang wanita yang aku buat.

"Ini, ambillah" kemudian ia memperhatikan gambarku
"Bagus gambarmu le. Bisa dijual itu" kata kakakku itu, dengan kata 'le' yang kurasa khas darinya, dan hanya ditujukkan padaku. Aku rasa 'kakak' lain tidak memanggil adiknya seperti itu. Ia berkata begitu sembari meninggalkan gambarnya sendiri untuk menyulut satu batang rokok.

"Maunya gitu mas, tapi ini buat dipakai sendiri" ia tak menjawab, asik dengan rokok dan kopinya, kemudian ia memperhatikan gambar bangunan yang ia buat, lalu mengambil ponsel miliknya dan memutar lagu.

"Iku proyek dimana lagi mas ?"

"Di Morotai. Kamu pasti ndak tau le, didaerah Lombok yang pasti"

Aku bergantian tak menjawab. Kemudian hening yang cukup lama, suara gesekan pensilku dan pensil kakakku seakan berlomba dalam keheningan itu, lagu My Chemical Romance berjudul I Don't Love You itu, mengiringi gesekan pensil kami, lagu itu seakan menghipnotis kami berdua, bibir kami bernyanyi, mengikuti tempo, nada dan liriknya, walaupun tidak terlalu keras. Aku berinisiatif menjadi suara dua, sedangkan kakakku tetap pada suaranya. Ia melirikku, dan aku melihatnya, kemudian kami berdua tertawa.

"Sik ingat aja kamu, le" ia disela tertawanya

Kami sama-sama mengerti, lagu itu mengingatkan kami tentang masa lalu, pada saat aku masih SMP. Ketika ia bermain gitarnya memainkan lagu itu, sementara aku masih belajar gitar. Ia mengajariku beberapa kunci dari lagu tersebut. Sebenarnya aku sudah bisa memainkan gitar, karena ekstrakulikuler di SMP-ku.

Aku yang sudah agak lancar dengan lagu itu, memainkannya. Tiba-tiba kakakku bermain melodi, dan menyanyikannya. Aku bermain peran dengan gitarku sendiri dan mengikuti suaranya. Memang agak sumbang, karena jariku masih belum sempurna menekan senar. Seakan tak perduli dengan itu, kami berdua bernyanyi, sepanjang malam diteras rumah.

"Sampean, kapan balik ke Lombok, mas ?" Aku yang tersadar dari lamunan masa lalu, membuka percakapan.

"Hhmm ? Kira-kira tanggal 20"

"Agustus ini ?"

"Iya, ada proyek lagi. Baru saja ditelpon tadi. Doakan saja tahun baru mas sudah balik"

Aku tak menjawab, tapi meminum kopi dan menyulut rokokku sendiri. Keheningan menerpa lagi, agak lama. Gambarku hanya tinggal ditebali dengan pulpen, jadi aku sedikit bersantai, menghisap rokokku.

Kakakku sudah 1 tahun bekerja diluar Jawa, baru kembali malam kemarin. Tetapi ia pulang kerumah istrinya terlebih dahulu, kemudian sehari menginap dirumah orang tua kami, bersama dengan anak lelakinya yang berumur 5 tahun, kecil, lucu, berambut keriting mirip seperti aku dan kakeknya, sementara ayahnya berambut lurus mirip neneknya. Tingkah anak kakakku itu sungguh enerjik, penuh semangat, tapi melihatnya tidur malam ini adalah pemandangan yang menenangkan.

Sebenarnya, yang membuat aku rindu, bukan karena kakakku jauh dari rumah. Tapi karena keadaan rumah tangganya, yang memiliki hubungan tidak baik dengan kedua orang tua kami. Membuat kakakku menjadi bimbang. Ia memilih untuk menetap dirumahnya sendiri, namun ia tetap tidak melupakan kedua orang tua kami, sekedar mengirimi uang, atau telepon kerumah. Oleh karena itu, jarang sekali ia menginap seperti ini, jangankan untuk menginap, berkunjung saja sudah jarang. Hanya hari raya idul fitri ia berkunjung, dengan kata lain satu tahun sekali. Tentunya, momen ia menginap seperti ini, sangat langka.

Kota Malang saat itu sedang dingin-dinginnya, aku memakai jaket hitam polos, bertudung tanpa resleting. Sedangkan kakakku, memakai jaket parasit, dengan resleting terbuka, dengan celana jeans pendek, dan baju tanpa lengan. Selera bajunya sama sekali tak berubah, sejak terakhir dulu, rambutnya pun lurus disisir kesamping, dengan potongan tipis disamping-samping, tak berubah. Wajahnya tirus, dengan tulang pipi yang menonjol, hidung mancung, dan janggut lancip, tak ada kerut yang membuatnya semakin tua. Hanya anaknya yang perempuan sudah kelas 2 SMP, dan laki-laki kelas 1 SD, yang membuatnya terlihat tua.

"Rokokmu habis, le ?" Tanya kakakku memecah keheningan yang cukup lama.

"Tinggal, dua mas"

"Beli o sana, ini uangnya. Aku titip juga, susu kalengan itu"

"Iya, sik mas. Gambarku tinggal dikit"

"Yo wis, terusno dulu" ia lalu menulis kalimat, dan hitungan proyeknya. Yang memang tidak aku mengerti.

Kakakku mendapat ilmu tersebut dari bapak. Bapak dulunya juga seorang pemborong, sampai sekarangpun masih sama, tapi proyeknya tidak sebesar dulu, kurang lebih sama seperti kakakku sekarang. Melihat ia belajar, ikut bapak menggarap proyek kesana kemari, melihat betapa dekatnya mereka berdua dulu, aku menjadi sedih, bahwa rumah tangga bisa menghancurkan hubungan ayah dengan anak. Entah siapapun yang salah, dan apapun penyebabnya, membuat mereka jauh adalah hal yang aku tidak suka. Aku memang tidak valid, karena berbicara demikian, sedangkan aku sendiri belum merasakan lika liku berumah tangga. Tapi dengan itu, aku jadi mengerti. Apapun yang terjadi dimasa depan, sebisa mungkin aku tak akan menjauhi orang tuaku. Tapi aku tau, kakakku pasti melakukan sebisa mungkin untuk dekat dengan orang tuaku.

Jam menunjukkan pukul 2 pagi, tetapi kami sama-sama masih belum selesai. Tidak, bukan seperti itu, aku sebenarnya bisa selesai sedari tadi. Tapi suasana malam ini, diteras rumah bapak, meja bundar ini, duduk dikursi sofa dengan spons yang sudah koyak, suara timah pensil dan kertas, alunan lagu poprock lawas, tak sadar aku nyaman dengan semua ini, aku rindu suasana seperti ini, walau tak saling berbincang. Kemudian aku membuka percakapan

"Mas, tadi rokokku sama rokoknya sampean ?"

"Sama susu kaleng, le"

"Siap, mas"

mungkin kata 'le' dari seorang kakak memang aneh, tapi dengan suara beratnya yang khas itu, menjadi seperti bukti sayangnya, terhadapku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kubang KeruhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang