"kadang manusia seperti aku tidak berhak untuk marah-marah, kamu tau kenapa?"
Kinasih menggeleng, sebagai gantinya ia menatap Iswara di kegelapan malam. Langit agaknya cukup sepi, terlihat kacau walau hanya nampak hitam pekat, namun mereka berdua masih bertahan di atap rumah tanpa balkon, lantai beton sudah cukup untuk duduk berdua sampai dini hari.
Namun laki-laki bernama dewa penguasa timur itu tidak kunjung bersuara, Kinasih mengerutkan dahi.
" Is? "
" Ya?"
" Kenapa? "
" Orang-orang suka menafsirkan yang hebat-hebat sedangkan aku sama persis dengan mereka, manusia biasa..."
Kinasih tersenyum sedikit, agak heran namun membenarkan. Sudah segini jauhnya mereka pergi dari masa lalu. Sependek ingatan Kinasih mereka berdua telah melalui terlalu banyak hal-hal sepi yang dirayakan dengan meriah.
" iyakan? "
" Iya"
Hari ini datang meminjam judul terbaik yang pernah ada dari calon 3 film pendek, yang gugur mati pada semester 4 lalu, namun memaksa-maksa bangkit kembali di bulan juni Februari yang agak terik ini. Anak Bumi mungkin hanyalah judul kosong tanpa Kinasih. Ku putuskan untuk meminjam gadis itu, aku pertemukan dengan Iswara dewasa yang tersenyum tanpa ikatan apapun. Dia bebas dan bestari.
Kira-kira hari ini sudah terlalu pagi untuk memulai perjalanan baru bagi jiwa mereka yang lelah. Namun, bahu Iswara adalah tempat paling dinanti oleh Kinasih pada akhir obrolan panjang yang senyap ini.
" nanti kita adalah orang yang berbeda, orang yang tidak saling mengenal, ketika bertemu denganku, jangan menatap aku, jangan tersenyum, teruslah berjalan menjauh. setelah ini, jangan pernah jatuh lagi, jangan bertemu orang yang penuh kelemahan seperti aku lagi..."
Iswara ternyata terisak kecil, mendekap perempuan di sampingnya adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri kata-katanya.
dan Kinasih menjadi tegar.
