1 |Mahawira, Bora|

685 70 9
                                    

Senin pagi yang cerah dengan udara cukup sejuk -karena pendingin ruangan plus air purifier membuat orang-orang semangat memulai hari dengan bekerja.
Namun itu tak berlaku untuk seorang wanita berpakaian formal yang berdiri sempoyongan di dekat pilar pada lobi kantor.

"Lo liat nggak tuh? Lemes dia hahaha.." salah seorang wanita yang berdiri di balik meja receptionist berbisik pada rekan kerjanya yang sedang menginput jadwal tamu penting ke komputernya, diakhiri tawa kencang.

Si wanita yang bekerja di depan komputer menoleh, mengikuti arah pandang temannya. Dahinya mengernyit melihat penampilan wanita di dekat pilar yang tak se all out biasanya.
"Dia dari departemen sebelah kan?"

Si wanita pertama mengangguk. "Iyaa Jesslyn."

"Naik apa dia ke sini?"

"Gojek."

Mata si wanita kedua membulat. "Serius lu? Habis dimangsa di malam purnama baliknya pakai ojek?"

Wanita pertama tersenyum miring. "Yah kan si bos emang gitu. Habis manis sepah dibuang." cemoohnya. "Liat aja habis ini pasti bakalan ada drama menarik."

Tak sampai sepuluh menit setelah kedua wanita itu menutup mulut, Range Rover abu metallic berhenti di pintu lobi.
Security yang berjaga bergegas membukakan pintu penumpang, menampilkan bos besar mereka dalam balutan setelan formal licin tanpa kerutan.

Mas Makmun -security kantor mengangguk hormat pada Mahawira.
"Pagi Pak."

Mahawira mengangguk singkat.
Dia berjalan tegap dengan tas kerja di genggaman tangan kanan menuju pintu masuk.

"Wira!" Wanita lesu yang menjadi bahan perbincangan dua receptionist kantor berseru dari tempatnya berdiri.

Mahawira hanya meliriknya sekilas, sama sekali tak terlihat akan menanggapi lebih jauh.
Langkahnya tetap mengayun gagah menuju Elevator yang akan membawanya ke lantai sepuluh, di mana ruangan para direksi berada.

Dua receptionist itu saling pandang, melempar kode. 'Kan. Apa gue bilang' kira-kira begitu arti lirikan mereka.

Wanita lesu yang kastanya berada jauh di bawah bos besar mereka itu dengan berani berjalan mendekat -walau tampak kepayahan dengan cara jalan yang aneh.
"Kenapa kamu tinggalin aku di sana?" tanyanya dengan berlinang air mata.

Mahawira tampak bosan. Dia hampir meneruskan langkahnya namun tangan gemetar wanita itu dengan berani menahan pergelangan tangannya.

Terdengar suara kesiap di mana-mana.
Mereka sudah menduga setelah ini akan terjadi apa. Ini bukan yang pertama, pikir mereka -para karyawan front office.

Mahawira mengibaskan tangan Jesslyn. Dia melirik Mas Makmun, tanda bahwa Mas Makmun harus segera membereskan wanita merepotkan ini.

Mas Makmun dengan sigap berjalan mendekat, mencekal dua pergelangan tangan Jesslyn dan membawanya keluar.
Namun Jesslyn melakukan pemberontakan dengan tenaganya yang lemas.
"Setelah kamu perkosa aku di depan-" kalimat dari mulut Jesslyn terpaksa berhenti karena tanpa ampun Mas Makmun sudah mengangkatnya menuju pintu keluar, menjauhkannya dari bos mereka yang terlihat sudah sangat muak karena waktu berharganya dicuri.

Mahawira melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti ke elevator khusus para direksi, meninggalkan sejuta tanya di kepala siapapun yang mendengar kalimat Jesslyn sebelumnya.

"Bos suka exhibition ya?"

***

Jam istirahat kali ini lebih ramai dari biasanya.
Lebih ramai oleh orang yang bergosip, maksudnya.

Itu karena Bora Opalina -Kepala Departemen Keuangan yang cantik, muda, cerdas, dan menggoda tiada tara menggandeng seorang pria eksotis setinggi hampir dua meter saat memasuki restoran di seberang kantor mereka.

"Eh ini wajah lakinya bos jutek?" Hani -karyawati yang bekerja di bawah naungan Bora menunjukkan layar ponselnya ke teman-temannya yang duduk satu meja dengannya.

Mereka sedang menyantap makan siang yang mereka beli melalui jasa pesan antar di kafetaria kantor.

"Mana?" Siwa melongok sambil mengunyah dimsum nya. Setelahnya dia tersedak. "Anjing hot parah."

Dua temannya yang lain turut melirik ponsel Hani dan menunjukkan respon yang sama.

"Sumpah ya itu bos jutek gampang banget gonta ganti laki. Gue satu aja belom ada." Ola menggerutu, iri berat dengan keberuntungan bos mereka.

Sementara Avan, satu-satunya yang berjenis kelamin pria di meja itu memberikan tanggapan yang berbeda. "Ya wajarlah. Dia smart, seksi parah, tahu betul caranya eksplorasi diri. Menonjolkan kelebihan menutupi kekurangan." tanggapnya santai, tak menyadari aura membunuh dari teman-teman satu departemennya.

"Lo juga suka sama dia?" Siwa menyahut sewot.

Avan mengedikkan bahu. "Siapa pria normal yang ngga demen bu Bora."

"Walaupun udah ngga perawan?" Hani turut menyahut.

Avan memicingkan mata. "Emang kenapa kalau ngga perawan? It's twenty-twenty baby. Jalin hubungan sama perempuan ngga diliat dari perawan nggaknya."

"Ya emang lo rela dapet barang bekas?" Ola sepertinya menjadi yang paling sewot.
Dia menusuk-nusuk sushi di piringnya dengan garpu.

Avan meminum air mineralnya sebelum menjawab. "Itu masa lalu kan? If you want her future forget her pasts."

"Laki-laki semua emang sama aja. Asal cantik seksi pasti mau." Siwa mencibir sinis.

Avan mendesah. "Kenapa jadi salahin kami kaum laki-laki? Kami cuma ngga mau munafik, kaya kalian. Bilangnya 'ngga kaya ngga ganteng gapapa asal cinta' bullshit. Lo mau dapet laki yang cinta mati sama lo tapi males kerja?"

Wajah ketiga perempuan di meja itu sudah merah padam.
Avan dan mulutnya yang berbisa.

"Kalau iri bilang aja kali. Jangan jelek-jelekin orang lain dan nganggep lo yang paling suci." lanjutnya.

"Gue duluan." tambah Avan terakhir kali sebelum bangkit keluar dari area kafetaria.

"Sumpah gue tambah benci sama bos jutek." Hani menjadi yang pertama memecah kebisuan.

Ola dan Siwa mengangguk setuju.
"Orang kek dia perlu ngerasain dicampakin laki macem bos besar biar tahu rasa." Siwa mengernyit jijik, benar-benar benci dengan bos mereka yang ketus dan galak tapi menjadi idola semua pria.

Siwa mengangguk setuju. "Hu'um. Gue bakal jadi orang yang paling bahagia liat Bora berangkat ngantor pakai ojek dengan baju kemarin lusa."

Hani tertawa. "Jangan lupa kaki gemeter lemes jalan ngangkang."

Siwa dan Hani tertawa bersama.

"Bisa kali next purnama kita daftarin Bora." Hani masih setia berkelakar.

Tawanya terhenti saat melihat wajah murung Ola. "Kenapa La?"

"Avan suka yang kaya Bu Bora." Ola meringis sedih.

"Sabar ya, dia pasti liat lo kok. Jangan nyerah." Siwa dan Hani berusaha menyemangati.

Ola mengangguk, masih belum semangat.

***


Owned (SnackBook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang