Pertanyaan.

4 0 0
                                    

    "Kalau harus menunggu sempurna dulu untuk memulai, kamu gak akan pernah mulai"

Kireina sedang duduk di depan layar yang menyala, tak ada yang dia lakukan selain menghapus setiap kata yang sudah ia ketik.
"Gue bener-bener bingung," keluhnya. "Gue tadi lagi ngelamun terus dapet ide, pas gue udah siap buat nuangin ide gue, gue malah lupa mau ngetik apaan". Tidak ada tanggapan dari temannya, ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Kesal keluhannya tidak didengar, Reina melemparkan sebuah pena yang entah dari mana ia dapatkan. "awh! Sakit, ege!" aduhnya ketika pena itu baru saja mengenai pelipisnya.
Dann bangkit dari duduknya, sambil membawa secangkir kopi ia menghampiri Reina.
"Emang lo tadi mikir apaan?"
"Gue gak mikirin apa-apa, tapi tiba-tiba aja gue lupa"
"Kalo lo gak mikiran apa-apa, kenapa bisa lo lupa?"
"Gak tau, lha, ngomong sama lo bikin gue pusing"
Dann menghembuskan napas panjang, "Lo, lagi kesel? Kenapa?" Paham betul sudah kalau temannya yang satu itu tidak dalam keadaan yang baik-bak saja.
Reina hanya diam tidak menjawab pertanyaan Dann. Dia sebetulnya sedang berpikir juga apa yang sebenernya sedang dia rasakan belakangan ini. Ia menatap Dann, sementara yang ditatap hanya mengerutkan dahi seperti bertanya, "kenapa?"
Hanya ada keheningan di antara keduanya, Reina yang diam dengan kebingungnannya dan Dann dengan segala pertanyaan yang mengisi tiap ruang di kepalanya.
Waktu seolah berjalan lambat. Kesunyian ini berlangsung lama.
"Lagian tumbenan banget lo mau mikir, biasanya lo gak pernah mau soalnya," Dann memutuskan untuk berkata demikian.
"Gue juga males sebenernya tapi pertanyaan ini seolah minta gue buat mikir -tolong pikirin aku-."
"Sumpah, ya. Makin lama makin ada-ada aja kelakuan lo"
"Kayaknya gue kelamaan diem di Rumah. Kalo gitu, ajak gue jalan-jalan besok!"
"Gak bisa" Dann sedikit sungkan sebetulnya untuk menjawabnya. Dia sudah ada janji untuk menemani pacar barunya keluar.
"Mau ke mana emangnya?"
"Dinda minta gue buat temenin dia beli buku ke Gramedia"
"Dinda? Anak mana lagi yang lo pacarin sekarang?"
Danniel, atau yang sering dipanggil Dann ini tingkah agak sedikit menyebalkan. Reina yakin kalo bukan karena tampangnya yang..ah Reina sendiri bahkan benci mengakui kalo memang dia cukup menawan. Ralat, sebenarnya di matanya sendiri Dann sangat menawan.

Dua minggu yang lalu sepulangnya dari rumah Reina, Dann mampir sebentar ke sebuah kedai kopi miliknya. Dia melihat seorang perempuan dengan secangkir kopi duduk seorang diri di sudut ruangan.Terlihat dari caranya menghembuskan napas, dia seperti sudah menjalani hari yang berat. Dann mendekat berniat menemaninya.
"Hai. Kursi ini, boleh gue isi?" Tunjuk Dann ke sebuah kursi kosong di hadapan perempuan itu.
Sementara si Perempuan hanya menatap malas pria yang baru pertamakali dilihatnya, sembari mempersilahkan.
"Hm." Dengan anggukan.
Dann tarik kursi itu dan mendudukan dirinya di sana. "Lo, kelihatan lagi ada masalah." Kalimat yang terlontar begitu saja.
Yang diajak bicara tidak menjawab. Jadi, Dann melontarkan kalimat lain, "Gue kalo lagi ada masalah, juga gitu soalnya"
Masih diam, Dann masih mau mencoba untuk mengajak perempuan itu bicara. Akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke cangkir kopi yang hanya setengah itu, "Americano," katanya, "tepat dugaan gue". Perempuan itu bernama Dinda. Dinda adalah orang yang mau membicarakan sesuatu kalau ia mau saja. Apa yang dikatakan Dann barusan, cukup membuat Dinda masih menunggu kelanjutannnya.
"Emang kenapa kalo gue pesen Americano?" Tanyanya.
"Lo butuh sesuatu yang lebih pahit dari apa yang lo hadapi hari ini. Makanya lo pesen Americano"
Dinda diam sebentar, dia hanya asal memilih menu tapi kalau dipikir-pikir mungkin bisa aja kebetulan. Hari ini salah satu hari yang berat bahkan terlalu berat untuk dijalani seorang diri.
Dann sebetulnya hanya menebak saja tapi siapa sangka kalau itu adalah jalan yang membawa ia dan Dinda ke percakapan berikutnya.

"Kenapa gue baru itu sekarang?"
"Gue pikir lo belakangan ini sibuk, jadi gue takut ganggu lo aja makanya gue gak bilang."
"Lo sendiri sejak kapan jadi mau nulis kayak gini?"
Reina menghembuskan nafas berat, "Gue dah punya niatan dari lama tapi kalau cuma pake niat doang apa yang  semua isi kepala gue gak mungkin bisa tiba-tiba ngetik sendiri. Gue butuh usaha buat nuangin itu."
Dann terlihat senang. "Gue bakal dukung lo, apa pun itu."
Masih ada yang mengganjal sebetulnya,  sesuatu yang selama ini ia tahan. "Gue masih gak pede sama apa yang mau gue tulis. Ini terlalu ancur. Gue cuma bikin draft yang gak pernah gue mau terusin lagi, gue tinggalin gitu aja."
"Gak masalah, bukannya gak ada pemula yang ketika bikin karya langsung jadi sempurna, ya"
Dann mengerti kalau Reina masih kebingungan, "Maksud gue, kalau harus menunggu sempurna dulu, lo gak akan pernah mulai, kan?"
"Jadi, menurut lo gakpapa kalau tulisan ini masih gak jelas kayak gini?"
Dann tersenyum menenangkan, "Gakpapa seenggaknya lo pernah nyoba, dan lo bisa nuangin apa yang gak bisa lo bilang ke dalam tulisan lo."
"Oke," jawab Reina terlihat bersemangat, "Kalau gitu gue bakal nyoba lakuin apa yang belom sempat gue pegang itu."
"Nah, gue bener-bener akan dukung lo." Sembari mengelus puncak kepala Reina.
"Gue bakal nyoba tapi nanti aja, hari ini gue bener-bener capek," putusnya.
"Gue pikir kalau lo udah memutuskan kayak gitu, lo bakal bergerak sekarang. Nyatanya sama aja." Kesalnya.
Sekarang Reina hanya berbaring di atas kasurnya.  "Gue gak punya tenaga lagi buat ngomong," Dann mengusap wajahnya, "Emang gue aja yang terlalu bersemangat. Sia-sia ucapan gue barusan."
"Berisik."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SementaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang