Insecure

1 1 0
                                    

Tema: Insecure
Majas: Hiperbola
Keyword: Makhluk Bayangan, 180 Derajat, Pengambil Jiwa, Ada Aqua?, Lewat Tengah Malam.

Jumlah kata: 500--2.000

PseuCom
__________________________

Langkah Popi terhenti kala melihat jalan yang akan dilewatinya. Bukan, bukan jalan. Lebih tepatnya galang sawah yang berupa sedikit tumpukan tanah liat untuk membatasi antar sawah. Biasanya, sih, para petani yang sering bolak-balik dari sawah sampai membuat becek karena kaki mereka yang basah.

"Mbok, harus banget lewat sawah buat ke rumah? Nggak ada jalan lain gitu?"

"Nggak ada jalan lain, Nduk. Cuman ada satu jalan. Ya, terpaksa harus lewat sawah."

"Yah, jalannya becek. Terus gimana high heels-ku? Masa, iya, aku nyeker?"

"Ya, mau gimana lagi to, Nduk Nduk?" Mbok Siti terkekeh melihat tingkah anak majikannya ini.

Popi tak rela kaki putih mulusnya akan menginjak tanah. Ia mencebik kesal sambil memanyunkan bibir. Terpaksa sudah Popi melepas high heels barunya demi iming-iming sang ibu.

Popi menghentakkan kakinya kesal, kenapa malah jadi sesusah ini? Sialnya lagi kakinya malah terpeleset. Sudah jatuh, eh, malah tertimpa tangga! "Aduh, duh," Popi meringis kala kakinya terpeleset.

Mbok Siti langsung menolong Popi. Kemudian memapahnya sampai rumah dan membuatkannya segelas teh hangat.

"Ada Aqua?"

"Nggak ada, Nduk."

Popi mencoba menapak, ternyata rasa sakit kakinya sedikit berkurang setelah dipijit. Ia duduk di bangku depan rumah sambil menyedup segelas teh hangat tadi dengan melihat pemandangan desa yang asri dan menyejukkan.

"Ayo, makan dulu, Nduk! Mbok minta maaf, ya, kalau yang dihidangkan cuman tempe sama sambal saja."

Matanya memandang remeh hidangan itu. Demi apa Popi makan makanan seperti ini? Nggak level! Lebih baik lapar daripada memakan makanan ayam! Popi melenggang pergi sambil berucap, "Nggak laper."

Mbok Siti hanya tersenyum memberi tanggapan. Wajar menurutnya seorang anak kota yang sering dimanja dipaksa untuk tinggal di desa sementara waktu. Lambat laun, pasti Popi akan berubah, Mbok siti yakin itu.

Di lain sisi, Popi membuka garden. Ia terlonjak kaget melihat seorang lelaki di kamar. "Heh, siapa kamu?!"

Laki-laki itu mengerutkan kening. Sejak kapan ada gadis di rumahnya, wajahnya pun asing dilihat. "Kamu juga siapa?"

"Ditanya malah balik nanya. Kamu maling, ya?" tangan Popi melayangkan pukulan maut hingga pria itu merintih kesakitan.

"Aduh ... saya bukan maling, saya anaknya Mbok Siti. Jangan-jangan malah kamu yang maling, ya?"

"Sembarangan! Saya ini anak majikan kamu, pergi!"

Lelaki itu menatapnya tajam sambil berlalu. Dari kamar, sayup-sayup Popi mendengar ucapan antara Pria mencurigakan itu dengan Mbok Siti.

"Mbok, wanita itu siapa, sih? Mengganggu saja di kamarku."

Mbok siti mengelus pundak anaknya. "Dia anak majikan Mbok. Dia disuruh ibunya buat tinggal di sini sementara waktu."

"Terserah embok ae, lah. Budi ijin mau bantu bapak nyari ikan dulu."

"Yo, wis monoho. Sing ati-ati, yo ...."

"Nggih, Mbok."

Popi mengamati sekelilingnya. Rumah ini dengan rumahnya benar-benar berbeda 180 derajat. Keadaan desa ini masih asri berbeda dengan kota.

Gunung yang menjulang tinggi, padi yang mulai menguning juga ada banyak pohon membuat udara di sini masih segar. Para nelayan pun masih bisa mencari ikan karena airnya yang bersih.

*****

Lewat tengah malam, Popi terbangun dari mimpinya. Di mimpi itu, dirinya seperti sedang diikuti makhluk bayangan pengambil jiwa. Menakutkan, sangat menakutkan sampai-sampai peluh keringat membanjiri tubuh.

Apa ini efek karena Popi tidak tidur di kasur yang membuat tidurnya tidak nyenyak?

Saat Popi melamun, Mbok Siti mengelus pelan pundak Popi."Nduk, kamu nggak papa?"

"Nggak papa, Mbok. Mbok tidur aja, sebentar lagi aku juga mau lanjut tidur."

Mbok Siti mengangguk.

Setelah Mbok Siti pergi, Popi berusaha merenung, renungan malam. Netranya berpendar mengamati sekeliling. Keadaannya berbeda.

Rumahnya sudah bertembok, beralaskan marmer, dilengkapi AC, kamar mandi yang mewah, dan kasur yang empuk.

Di sini?

Berbeda jauh 180 derajat.

Di sini, tembok pun masih menggunaman triplek. Apalagi marmer, kamar mandi, kasur? Yang ada hanya beralaskan tanah, kamar mandi umum.

Popi menghela napas. Tak seharusnya ia membanding-bandingan rumah ini dengan rumahnya. Popi merasa insecure dengan anak Mbok Siti. Dia bisa menerima takdir dan berbakti kepada orang tuanya.

Sedangkan Popi? Dia hanya anak yang terus menuntut orang tuanya tanpa tahu rasa bersyukur.

Lagi, Popi menghela napas berat. Esok, dia harus bisa menyesuaikan keadaan, harus! Besok Popi akan berubah menjadi yang lebih baik.

Ipen WikenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang