menatap jingga

31 5 0
                                    

April 1997

Musim semi, ketika bunga Cherry ikut tersenyum melihat senja bersamaku. Bangku taman samping rumah selalu menjadi tempatku berbincang bersamanya. April kali ini mungkin aku sendirian, tiga hari yang lalu sebuah surat berwarna coklat tertulis pesannya.

"Maaf, jangan menungguku 3 hari kedepan."

Aku tak menunggunya, hanya saja aku ingin dia ada. Senja masih menampakkan dirinya, temaramnya masih menjalar kemana-mana. Ketika aku berniat untuk kembali ke dalam rumah, semerbak aroma khas seseorang yang ku kenal menghentikan langkahku.

Ternyata aku tak sendirian, dia kembali dan duduk disampingku kini. "Ada yang ingin kamu ceritakan padaku di musim semi kali ini?" Tanpa sedikitpun melihatku.

"Catherine mengunjungi ku dua hari yang lalu. Bercerita tentang kekasih barunya, mengumbar keburukannya dan berakhir keluar dari rumahku dengan umpatan yang tak dapat dia sampaikan kepadaku." Tak ada sahutan, hanya deheman yang mengisyaratkan dia mendengarkan ku bercerita.

Ya, dia pendengar yang baik. Nyaman sekali jika bercerita dengannya. Ketika kamu bercerita tanpa harus tampil sempurna. Ketika kamu ingin bercerita tanpa harus meminta izin. Dan ketika kamu ingin didengar tanpa ingin dinasehati. Disitulah yang aku rasakan. Menjadi diri sendiri, menjadi Disly Pandora. Dan dia, sampai saat ini selalu menjadi dirinya, Erlan Giaga.

"Bagaimana jika ada seseorang yang mengatakan kepadamu? Ia menyesal mengenal mantan kekasihnya, menyesal dekat dengannya yang pada akhirnya hanya berakhir untuk melupakannya."

Temaram senja memudar, waktunya ia pulang. "Dengarkan aku, jangan pernah menyesal mengenal dan dekat dengan siapapun, walaupun dia menyakitimu atau sebaliknya. Tanpa dia, kamu tak mengenal berbagai rasa."

"Ya, aku percaya itu. Oh shit aku kesal mengingat hal ini. Cukup lama aku mendengarkannya bercerita. Beberapakali kami bertengkar karena berbeda pendapat. Dan kali ini, dia mengatakan sesuatu yang membuatku tak menyukai cara berpikirnya." Terjeda, kembali mengingat hari itu.

Ruang tamu minimalis dengan perapian ditepi dekat sofa ku. Rasa kesal yang sudah aku pendam kini dapat aku sampaikan. Selalu seperti ini ketika dekat dengan seorang pemuda. Mendatangiku dengan belas kasihan dan setelah usai akan lupa bahwa aku ada dibalik drama nya.
"Hanya dirimu sendiri yang dapat mengendalikanmu, bukan orang tuamu bahkan aku." Suasana sudah cukup mendorongku untuk bertindak keras terhadapnya.

"Kamu tak mengerti tentang diriku" mungkin hanya kalimat singkat, namun cukup membuatku berpikir dia tak menghargai saranku selama ini.

jika aku tak mengerti dirinya, untuk apa dia bercerita panjang lebar padaku? Dan mengapa dia selalu melakukan saranku saat drama percintaan nya sudah memasuki komplikasi? Aku benar-benar muak dengan semua ini. Setelahnya dia pergi tanpa satu kata pun terucap.

"Aku merasa tak dihargai olehnya, aku akan menutup akses baginya untuk bercerita. Tapi aku selalu merasa bersalah." Kini temaram senja benar benar menghilang, tergantikan bulan yang datang.

"Tak apa, itu bukan salahmu dan tak sepatutnya dia berbicara seperti itu. Hari menjelang malam, mari makan bersama, aku membawakanmu Croissan."

Dialog senja di musim semi berakhir, pesannya akan selalu mengalir. Sesibuk apapun dirinya, akan selalu menyempatkan diri untukku bercerita. Terimakasih Erlan, selalu menjadikan setiap musim tetap hangat.

@BynRchl

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[cerpen] Senja Di musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang