1. Belanja

4 1 0
                                    

Semester baru, semangat baru. Semboyan mahasiswa yang akan menapaki semester lain di kampusnya. Bagiku, semester baru adalah beban yang baru. Mata kuliah yang akan berbeda dengan sebelumnya dan tentu saja pasti lebih memusingkan!

Namun, ada satu hal yang membuat aku senang dengan semester ini. Yakni status baru. Bukan, bukan status yang ada di KTP. Tapi, statusku sebagai mahasiswa baru akhirnya lenyap. Rasanya tidak enak menyandang status mahasiswa baru alias maba. Seseorang akan terus dianggap sebagai maba sampai ada maba lain yang masuk kampus. Kuliah tidak bebas, masuk kelas serasa masuk kandang macan, belum lagi ospek yang sangat menyiksa. Terlebih aku merupakan mahasiswa jurusan teknik sipil yang ospeknya benar-benar membuat emosi membumbung tinggi.

Aku diantarkan kembali ke kost oleh Ayah dan Bunda tadi siang setelah 2 bulan berlibur di rumah. Melihat bagaimana kotor dan berdebunya kost, aku hanya bisa menghela nafas. Capek sih sebenarnya, tapi demi kenyamanan diri sendiri, aku langsung membersihkannya. Aku menyewa kost tidak jauh dari kampus, dengan ukuran kamar 4x5 m, berisi kasur, lemari, meja, dispenser, dan tentunya kamar mandi di dalam. Kamar ini tadinya berwarna putih, namun aku sengaja mendekorasi ulang menjadi warna biru langit. Di salah satu temboknya aku hias dengan berbagai foto dan pajangan dinding supaya suasananya lebih hidup.

Setelah membersihkan kamar, aku langsung mandi dan berganti baju bersiap-siap untuk pergi ke supermarket dekat kampus. Banyak sekali barang yang sudah aku list di kertas. Aku memasukkan dompet dan kertas tadi ke dalam tas kecil. Handphone ku tiba-tiba berdering menandakan panggilan masuk. Aku langsung menuju meja dan mengambil ponsel.

"Gue udah depan kost lo, cepet turun. Gue gak mau nunggu lama." Bukannya baca salam, Joan langsung berbicara seperti itu.

"Sebentar, gue lagi..." Sebelum aku selesai berbicara, dia dengan seenaknya menutup telepon. Dasar menyebalkan!

Dengan buru-buru, aku langsung menancapkan jarum ke dalam kerudung. Membawa tas kecil sambil berjalan untuk mengunci pintu kost. Aku berlari menuruni tangga sambil sesekali menyumpahi Joan. Sudah kebiasaan memang, kalau punya janji dengannya siap-siap saja dijemput sebelum waktunya. Setelah di lantai dasar, aku melihat Joan berada di atas motor sambil memainkan ponselnya. Dia langsung menyimpan ponselnya ke dalam tasnya begitu aku berada di sampingnya.

"Lama bener lo, gue udah lumutan nih."

"Lama apanya? Bahkan lo gak nunggu lebih dari lima menit. Lagian salah sendiri, janjian jam setengah lima malah jemput sejam sebelumnya." Demi apapun kebiasaan dia yang satu ini sering membuat kesal. Dia memang sangat tepat waktu, tapi berlebihan. Aku pun bukan orang yang suka telat. Aku sangat menghargai waktu.

"Ck, udah cepet pakai helmnya." Tanpa berbicara lagi, langsung aku pakai helm pemberian Joan dan naik motor NMAXnya. Dia melajukan motornya menuju supermarket yang kami tuju. Jalanan masih kosong dan hanya beberapa kendaraan yang lalu lalang.

Joan adalah mahasiswa tingkat akhir di jurusan yang sama denganku. Yap, dia adalah kakak tingkatku. Beda 4 semester. Namun karena sudah kenal sejak masih pakai seragam putih merah dan tetanggaan juga, aku tidak memanggilnya dengan embel-embel abang. Pernah sih aku memanggilnya Bang Joan karena tuntutan masa ospek tapi benar-benar geli. Sumpah deh. Joan saja menahan tertawa begitu aku menyebutnya demikian. Jadi ya begitu, sampai sekarang aku tidak mau lagi menggunakan panggilan itu.

Tak terasa kami sudah sampai di tempat parkir supermarket. Joan memilih memarkirkan motornya di tempat yang agak kosong. Biar gampang keluar katanya. Aku turun dari motor dan melepas helm yang ku pakai.

"Joan, lo mau beli apa aja?" Dia tampak berpikir sebentar kemudian berjalan tanpa menjawab pertanyaan. Benar-benar memancing emosi. Aku segera menyusul dan menyejajarkan langkahku dengannya.

Siapa Takut?!Where stories live. Discover now