Eliza menatap sekeliling, mencari-cari sang kembaran yang tak kunjung terlihat. Kakinya menyusuri setapak demi setapak anak tangga. Sepanjang mata memandang, Eliza hanya mendapati ruang kosong. Ruang keluarga yang sepi dengan tv mati, dan dapur kosong tanpa si juru masak.
Kaki Eliza kembali melangkah ke lantai atas. Meskipun sedikit mustahil di pikirannya, namun ia tetap berjalan ke arah kamar si sulung. Berharap menemukannya di dalam sana.
Eliza mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tak ada sahutan apapun dari dalam. Hanya angin-angin yang lewat memainkan rambutnya. Gadis itu ingin kembali ke kamar, karena menurutnya sang kakak telah berangkat bekerja. Namun, angin-angin di sekitar bertambah kencang. Hingga akhirnya, pintu cokelat itu terbuka lebar dengan bantuannya.
Eliza mengerjap bingung. Tetapi setelahnya, ia mendekati pintu lagi. Matanya menelisik ke dalam kamar yang sepi. Namun itu tak lama karena netranya langsung membelalak kala mendapati apa yang dicari.
Eliza tak jadi menutup pintu, membiarkan angin-angin itu yang menutupnya sendiri. Gadis itu langsung mendekat ke arah ranjang. Matanya bergetar seiring dengan badan yang mengalami tremor. Dia menunduk, mensejajarkan diri dengan orang di hadapan.
Mata sayu itu terbuka perlahan. Tak ada lagi binar di sana. Ia menatap sendu gadis berambut cokelat terang di depannya. Tangannya mencoba menggapai gadis itu. Namun, usaha itu bak sia-sia. Lengannya bahkan tak bergerak sedikit pun.
"Elia ...," panggil Eliza dengan suara lirih. Dia mengusap tangan Elia yang kemerahan bahkan hampir terkelupas, sama dengan lapisan kulitnya yang lain.
"Ada apa?" Suara Eliza bergetar, antara takut dan terkejut. Matanya memerah, air dari sana akhirnya tumpah.
Mulut Elia terbuka bak ingin berbicara. Namun, tak ada satu pun kata yang keluar dari sana.
Eliza menggeleng dengan ribut. Dia terjatuh di atas lantai yang dingin. Gadis itu memeluk sang kakak. Tetapi, tak sampai satu menit ia melepaskannya. Si bungsu terlonjak kaget karena panas dari luka-luka Elia.
Mulut Elia terus bergerak meskipun tak ada suara. Sudut matanya menitihkan air mata. Dia memejam erat. Napasnya tersenggal-senggal, membuat dadanya terus naik turun. Semakin lama, semakin cepat.
Eliza kembali panik. Dia berdiri dan mendekati kakaknya, menggenggam tangan itu sekilas, mengabaikan rasa panas.
"Tu-tunggu sebentar ya? A-aku akan memanggil Tabib Sayudha," ujar Eliza dengan nada gemetar. Dia langsung berlari ke luar kamar, menuruni anak tangga dengan tak sabar. Diraihnya mantel di belakang pintu, memakainya sembari terus berlari. Kakinya bergetar dan lemas. Namun hatinya tak tenang karena Elia. Dia tak boleh berhenti.
Di jalan utama, mata Eliza menangkap sebuah bus biru yang tengah berhenti. Secercah harapan timbul di hati. Dia berlari semakin kuat, menyusul bus yang akan berangkat. Namun, saat berada tepat di sisi bus, pintu-pintu mulai tertutup.
"TUNGGU!" teriak Eliza dengan suara serak. Namun, bus itu tetap melaju seakan tak melihat si gadis. Eliza menatap sendu bus yang menjauh. Langkahnya memelan bersama tangisan.
"Hey anak muda! Tidak perlu menangis. Bus menuju Verbum datang setiap 30 menit sekali," ucap seorang nenek berpayung putih. Dia meraih tangan Eliza dan membawanya duduk di kursi halte.
Eliza masih terisak. Dia menangkup wajah sambil menunduk, malu. Nenek di sampingnya mengusap lengan gadis itu. Tatapannya penuh rasa iba. "Untuk apa kau ke Verbum, Gadis manis?"
Eliza perlahan mendongak dengan mata yang memerah, menatap si nenek dari samping. "A-aku ... harus pergi ke Tabib Sayudha," ucapnya masih dengan suara yang bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
NYHETER
RandomEliza Galena selalu mengisolasi diri saat menulis cerita. Dia selalu bercengkrama dengan para tokoh fiksi. Namun, hidup tak dapat berjalan di tempat. Suatu hari, Eliza harus turun dari singgasananya, dan merasakan kehidupan di dunia nyata, bukan dun...