Chap 08

0 0 0
                                    

Eliza menyeret kakinya ke kereta kuda Tuan Marcus. Mentari sudah menari meski belum setinggi saat siang hari. Dalam hati, Eliza takut 'tuk pergi. Ini pertama kalinya dia akan pergi jauh tanpa siapapun, sendirian.

Mata Eliza melirik bangunan di belakang gang yang tak lain adalah huniannya.

"Eliza, kemarikan tasmu!" seru Tuan Marcus seraya berjalan mendekat. Dia mengambil alih tas Eliza dan menaruhnya di bagian belakang kereta.

"Eum ... Nyonya Steva, tolong jaga Elia ... ya? Saya janji akan kembali secepatnya," ujar Eliza gugup.

Nyonya Steva mengangguk sambil tersenyum tipis. Dia mengelus surai Eliza dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja. Elia 'kan sudah kuanggap seperti anakku. Aku akan minta Mettasha menemaninya saat kupergi. Kau hati-hati ya, sayang?"

Eliza mengangguk kaku. Dia mencoba tersenyum meski hasilnya aneh. "Terima kasih."

"Eliza! Ayo berangkat!" Tuan Marcus sudah duduk anteng di tempatnya. Dia menolehkan badan, menatap istri dan tetangganya.

Eliza mengangguk sigap. Dia lantas berpamitan pada Nyonya Steva dan langsung menaiki kereta kuda. Tentu saja di bagian belakang.

Mereka tak hanya berdua, ada seorang pemuda juga yang duduk tepat di sebelah Tuan Marcus. Eliza tak mengenalnya.

Kereta berjalan dengan lancar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kereta berjalan dengan lancar. Mereka tengah berhenti di peristirahatan terakhir Calamus. Ah, bukan pemakaman namun area istirahat. Setelah ini mereka akan memasuki hutan untuk sampai di Flosterra.

Tuan Marcus, Eliza dan si pemuda asing makan bersama. Bukan sesuatu yang mewah, hanya bekal rumahan dari Nyonya Steva. Mereka memakannya di ruang bagian belakang, dekat dengan barang-barang.

"Elia ... bagaimana dia bisa seperti itu?" Tuan Marcus membuka percakapan. Meskipun pria tua itu tengah melahap sepotong ayam, dia tetap menatap Eliza penasaran.

Eliza mengerjap. Apa dia boleh memberitahunya? Ah, kenapa tidak? Bukankah tidak ada yang melarang? Penyihir Diomira juga tidak mengatakan apapun 'kan?

"Hey, setidaknya kalau tak mau menjawab bilang," tegur pemuda asing berambut pirang itu. Dia menatap malas Eliza yang kembali mengerjap.

"A-ah maaf. Anu ... Elia terkena kutukan karena menulis berita kematian a-anak Penyihir Diomira." Eliza tak tahu ini benar atau tidak. Dia hanya tak ingin mengacuhkan kedua pria yang dengan murah hati memberinya tumpangan ke luar negeri.

"Astaga ... Aku ikut bersedih. Elia adalah gadis yang baik. Dia selalu tersenyum kapanpun dan dimanapun. Kuharap dia kembali pulih. Apa kau butuh obat untuknya sehingga pergi ke Flosterra?" ujar Tuan Marcus. Raut wajahnya sesuai dengan apa yang pria itu bicarakan.

Eliza lagi-lagi mengerjap. Dia harus apa? Gadis itu ingin menggeleng, namun ... bukankah berita-berita itu dapat dibilang obat? Astaga, Eliza bingung!

NYHETERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang