CHAPTER 1 : Be Trapped

64 13 1
                                    

Lampu redup koridor dua belas terbilang sedikit membantu— untuk setidaknya membuat tiga orang yang tengah mengendap-ngendap seperti penjarah barang itu, tidak menabrak tiang koridor. Tidak lucu bukan jika salah satu dari mereka mencetak tato alami yang besoknya akan berubah menjadi ajang gelak tawa.

Pukul dua pagi tepatnya mereka rela repot-repot untuk mendaki pagar pembatas sekolah yang tingginya bukan main, menutup satu-persatu akses CCTV sepanjang koridor, mengelabui Pak Satpam tua yang tengah berkeliling, sebab selalu ada hal aneh yang terjadi di sekolah. Melelahkan sih, tapi mereka lebih memilih lelah dari pada harus membiarkan kepala sekolah menjalankan aksi biadabnya.

Sepanjang koridor semua lampu dibiarkan meredup entah karena alasan apa, jika hanya satu lampu, mungkin bisa dianggap hal lumrah terjadi. Sebab, yah lampu neon orange itu sudah pasti telah berada di ambang kematiannya. Ketika dibiarkan seperti itu membuat suasana koridor hampir mirip dengan arena uji nyali, ditambah sunyi yang mencekik kewarasan serta suara jangkrik yang seolah tengah mencibir.

Pada belokan koridor, Lunna memandangi sudut demi sudut dinding yang dipenuhi CCTV jaga-jaga jika ada yang menyala.

"Lex, gue ke lorong sana. Lo sama Gevan lurus kearah kantor." Lunna tiba-tiba menghentikan langkahnya lantas menunjuk ujung koridor tepat di mana kantor berada, mendengar itu Lexxa mengerut dahi, ingin menanggapi, namun Gevan keburu menyahut, "Oke."

Lexxa masih dalam kebingungan ketika Gevan menyeru untuk tetap berjalan, sedangkan Lunna sudah berbelok dan hilang ditelan kegelapan.

"CCTV kantor proyeksinya ada di bagian atas," Gevan berbisik ketika mereka telah berada di depan ruang kantor, agaknya menyadari perubahan raut wajah Lexxa setelah kepergian Lunna.

Menghela nafas pelan, lantas menyahut beberapa menit kemudian. "Kenapa bukan lo aja yang pergi," ucap Lexxa sedikit merasa ada yang aneh namun berusaha berpikir positif, mungkin hanya perasaannya saja. Gadis itu lantas menekan satu tombol pembuka ruang kantor setelah memeriksa apakah tidak ada proyeksi sidik jari, sontak bunyi 'pip' terdengar agak nyaring membuat keduanya terkejut, namun berangsur biasa tak kalah melihat Lunna berjalan dari arah berlawanan. Sambil mengisyaratkan semua baik-baik saja.

"Kan, Lunna yang paham cara matiin server." Gevan berusaha mengelak, pada kenyataan Lunna memang handal di bagian komputer dan terakhir kali gadis berambut legam itu meretas akun milik sekolah hanya untuk membuat data diri Gevan menjadi perempuan. Menyebalkan, bahkan Gevan masih menyimpan sedikit kesal pada Lunna.

"Jangan sampai si tua bangka lihat kita, masih ada satu CCTV yang gak bisa gue retas, soalnya servernya nyambung ke komputer dia." Menjeda sejenak guna memperhatikan sekitar, lantas melanjutkan pelan dengan nada memperingatkan. "Jadi, hati-hati." Lunna tanpa basa-basi dengan cepat menjelaskan, ia bahkan baru sampai di hadapan Lexxa dan Gevan.

"Letak CCTV-nya di mana," tanya Lexxa dengan mata yang menyapu setiap sudut. Melangkah perlahan dengan hati-hati diikuti Lunna dan Gevan berada tepat di belakang.

Sejenak berpikir, Lunna akhirnya menjawab, "Gue gak tau pasti letaknya di mana, tapi kayaknya di depan pintu tadi." Lunna berkata dan langsung menatap Gevan membuat pemuda itu menarik lengan Lunna, dan membuat gadis itu stagnan di tempat, sementera Lexxa tetap berjalan di depan.

"Maksud lo kita ketangkap CCTV pas di depan? Lo kalo mau mati jangan ngajak-ngajak." Gevan berkata dengan ekspresi memelas.

Lunna ingin menahan gelak tawa, lantas berkata dengan nada dibuat serius. "Bisa jadi." Dan tentu saja ia hanya bercanda.

Menghela nafas frustasi Gevan tersenyum hambar ke arah Lunna sebelum berlari kecil menyusul Lexxa yang berdiri di depan ruangan Kepala Sekolah. Lunna mengeleng tak habis pikir bagaimana ia bisa menjalankan misi ini dengan pemuda seperti Gevan.

"Kenapa Lex?" Gevan menepuk bahu Lexxa karena gadis itu terdiam dengan pandangan mata yang mengarah ke tepat pada gagang pintu.

"Pintunya ada sensor pelacak, gue rasa Kepsek mulai curiga deh." Lexxa menyahut tanpa memandang wajah Gevan sebab ia tengah menebak-nebak cara bagaimana mereka bisa masuk ke ruangan itu.

"Kita hancurin aja lah." Gevan hampir mendobrak pintu namun dengan sigap Lunna menarik rambut pemuda itu dan sontak membuatnya tertarik kebelakang.

"Kalau ada sensor berarti itu bahaya bodoh, lihat!" Lunna menjunjuk keatas atas pintu dengan senter sebesar jari telunjuk kearah pipa kecil coklat pudar yang tepat berada di atas pintu. "Kalau lo dobrak pipanya bakal pecah, dan lo tau isinya apa?" Lunna mendekatkan wajahnya pada Gevan "HCL."

Lexxa mengangguk. "Iya, terakhir kali ada Siswa yang kena percikan sisi mukanya terbakar, dan Kepsek berdalih kalo si Siswa ini kena asam klorida di laboratorium kimia yang tepat ada dibelakang kantor." Lexxa tersenyum miris lantas kembali melanjutkan. " Gue rasa pembuatan laboratorium kimia ada kaitannya sama Kepsek. Aneh aja, setiap kali ada siswa yang kena percikan HCL pasti Pak Kepsek yang selalu unjuk diri buat klarifikasi."

Gevan memasang wajah bingung, bagaimana kedua temannya mengetahui hal seperti itu sedangkan dirinya bahkan tidak mengetaui apa-apa padahal mereka selalu bersama. "Lo berdua tahu dari mana sih elah, kok gue gak tau."

"Makanya kalau lagi diskusi jangan molor." Lunna menggeplak kepala Gevan lantas beralih melirik Lexxa.

"Kita lewat atas, agak beresiko sih. Tapi lebih baik kan, daripada gak ngelakuin apa-apa."

Lexxa sejenak terdiam, terlihat berpikir, kendati beberapa detik kemudian mengangguk. "Yaudah kita lewat atas."

"Eh gue gak setuju yah." Gevan menyahut tak terima bukan karena apa, namun lewat atas yang kedua temannya bicarakan adalah menembus plafon merangkak di balok-balok kayu penuh laba-laba dan itu jelas bukan hal yang menyenangkan.

"Yaudah Gev lo di sini aja, jaga-jaga kalau Pak Satpam keliling lagi."

Mendengar penuturan Lexxa, Gevan malah merasa dirinya terlihat aneh, namun phobia laba-labanya juga tidak bisa dianggap enteng.

"Yaudahlah pake mikir segala, lo disini aja, dan jangan gegabah."

Gevan mendengus kendati mengiyakan setelahnya, sementara Lunna dan Lexxa sudah membobol plafon atas dengan cepat, Gevan sejenak terpukau meski pada kenyataan ia selalu melihat yang seperti itu.

Kurang dari lima menit kedua gadis itu telah mendarat tanpa suara di dalam ruangan.

Lexxa memberi isyarat tangan kepada Gevan untuk mundur beberapa langkah ketika Lunna menempelkan satu buah card yang ia ambil dari laci ruangan. Pintu seketika terbuka namun percikan HCL tetap mengucur membuat Gevan sontak membulatkan mata dan mendengus kesal ke arah Lunna yang malah terkekeh.

"Kan, Lexxa udah kasih Isyarat buat mundur."

Gevan kembali mendengus mendengar penuturan Lunna, pemuda itu lantas masuk ke ruangan dan mereka bertiga sibuk dengan urusannya, Lexxa terlihat tengah meraba-raba dinding mencari setidaknya satu tombol yang bisa membuat mereka menemukan di mana sebenarnya keparat tua bangka itu menjalankan aksinya.

Lunna sendiri menyapu pandangan di sudut-sudut ruangan yang kontras dengan warna abu tua.

Sementara Gevan mengeluarkan satu benda tipis seperti plastik yang ia tempelkan di setiap spot yang akan digenggam.

"Gak ada disini Lex." Lunna lebih dulu menyahut, menghela nafas berat ketika pencariannya tak berbuahkan apa-apa.

Mendengar itu Lexxa ikut menghela nafas sebab ia juga tidak menemukan tombol apapun.

"Guys."

Kedua gadis itu sontak melirik kearah Gevan yang mematung dengan pandangan tertuju pada sudut dinding dengan satu buah lampu merah kecil yang berkedip-kedip.

"Kayaknya, kita di jebak."

----------------------------------------

Written by: KotacKata
Edited by: keyshakameela_

READY OR NOT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang