[16] Reckless

15 1 0
                                    

Tw : harsh word⚠

Dimohon bijak ya dalam membacanya

hope you enjoyed ^^


Pintu ruang musik terbuka sebelah menunjukan masih ada orang yang sedang berlatih di dalamnya.

Jemari Jena dengan lihai menyentuh tuts piano yang menghasilkan suara indah jika di dengar.

Suasana hati nya tak karuan sampai-sampai ia melewatkan beberapa jam makan siang.

Terdengar berlebihan sih, tapi ini benar-benar membuatnya sakit hati hingga tak ada sedikit pun keinginan untuk berbuat apa-apa saat ini.

Apa dunia tidak membolehkannya untuk tersenyum bahagia sekalipun dengan lelakinya sendiri?

Ah.. setelah mengetahui fakta mungkin Jena tak berhak lagi memanggilnya dengan embel-embel kekasih.

Terlalu banyak hal yang membuat pikirannya berkecamuk kemungkinan beberapa hal akan terjadi pada Renjun di masa depan, Jena benci itu.

Air matanya meluncur kembali setelah ia tahan sekuat mungkin, Jena tidak ingin terlihat lemah hanya karena soal percintaan.

"Sampai kapan kau akan berlatih?"

Sosok yang seharian ini Jena hindari, mengapa Renjun tetap tidak peka akan perasaannya? Ah sungguh menyebalkan.

Tas yang tersampir di bahunya diletakan dekat lemari perlengkapan alat musik, helaan nafas terdengar jelas dari bibir lelaki itu tapi Jena sama sekali tidak menghiraukannya.

Alunan melodi tetap terdengar saat beberapa kali Renjun melarangnya berhenti. Mood nya kacau, pikirannya ingin bebas tanpa harus lagi memikirkan lelaki bermarga Huang.

"Jena—"

"I need my space."

Renjun masih berdiri, sambil menatap Jena yang enggan menatapnya balik.

"Kenapa lagi sih?"

Jena tersenyum hambar, "Nothing much, tolong tinggalin aku sendiri."

"Jena aku tau kamu—"

"MAKA DARI ITU TINGGALIN GUE SENDIRI!!!"

Air mata yang sedari tadi Jena tahan meluncur bebas di depan Renjun, diraihnya tas berwarna hitam miliknya lalu berjalan meninggalkan Renjun seorang diri.

"Jena tunggu!!"

"Jen!!"

Langkah Jena terajut agak cepat tidak berniat menoleh sama sekali pada Renjun yang masih terdiam di tempat.

"JENA AGATHA!!!"

Jena berhenti. Demi apapun teriakan nyaring dari Renjun kali ini membuatnya kaget setengah mati.

Mungkin sesudah ini Renjun tidak akan memaafkannya.

Bahunya berbalik tanpa diperintah membuatnya harus menoleh pada laki-laki yang kini berada tak jauh tepat 5 langkah di hadapannya.

Tangan Renjun mengepal, menahan emosi yang memuncak, sorot matanya penuh dengan kabut amarah.

"Lo kenapa kaya gini hah?! Gue cape kalo harus selalu sabar ngadepin sikap lo yang gak dewasa kaya gini! Mau lo apa?!"

"Gue selalu turutin mau lo, lo mau gimanapun juga gak terlalu gue larang. Apa lagi yang buat lo kaya gini Jena? Gue cape Jen, gue cape!!!"

Tatapan mereka beradu. Sorot merah antara keduanya terisi oleh perbuatan munafik yang tak seharusnya mereka bayangkan tapi tidak ada satupun niat untuk merengkuh dan meredam emosi dari masing-masing.

Tidak, itu mungkin tidak akan terjadi saat Renjun bertemu dengan Jena. Keduanya sangat keras kepala, sikap egois dari keduanya tetap tidak hancur sekalipun meski beberapa kali dihantam oleh emosi yang memuncak-muncak.

"Renjun lo janji kan gak akan ninggalin gue?" tanya Jena, menatap intens Renjun.

Renjun tetap pada posisinya, bungkam sambil menatap Jena.

Jena meloloskan air mata terakhirnya,"Lo janji kan gak akan khianati gue?"

Jena menggigit bibir bawahnya lalu tersenyum ketir, "Udah gue duga selama ini lo main dibelakang gue."

Renjun tidak mengerti apa yang diucapkan kekasihnya kini menatap Jena penuh tanda tanya,

"Maksudnya?"

Tangan Jena terangkat untuk mengambil dua buah polaroid yang berada pada saku seragamnya lalu berjalan beberapa langkah mendekati lelaki tersebut.

"Ini."

"Gue gak pernah expect lo bakal nekat ngancurin kepercayaan yang udah gue buat. Makasih 6 tahun berharganya. Gue bener-bener sakit hati."

Kalian mungkin menebak jika Renjun spontan akan mengelak dan marah besar saat Jena mengatakan fakta yang sebenarnya?

Tidak.

Laki-laki itu justru begitu terkejut dan tanpa segan menumpahkan air mata di depan Jena, tak mengucapkan sepatah kata apapun.

"Gue selalu percaya sama semua kata-kata lo tapi pikiran gue gak bisa hilang gitu aja yang akhirnya—"

Jena tak kuasa melanjutkan perkataannya. Perlahan ia menarik napas. Membuang semua rasa sakit yang hampir merenggut seluruh hatinya.

"... akhirnya gue cuma bisa nyelamatin diri sendiri buat berpikiran positif. Yeah... I just do it for myself , tapi ini gak berlaku buat lo sama sekali."

"Lo tau siapa yang sebenernya dalam batas lelah disini? Disaat gue harus ngejar lo mati-matian, lo malah buang gue habis-habisan."

Jena menghela napas dalam sesegukan,

"Satu hal yang mesti lo tau. Keyakinan diatas rasa takut gak mudah buat gue jalanin."

Renjun memegang bahu Jena, "Gue bisa jelasin yang sebenernya, Yiyang—"

"This has nothing to do with this bitch!" sela Jena penuh amarah lalu menepis kasar tangan Renjun.

"Dengerin gue dulu Jen!"

Tak ada pembelaan, naas. Kini tatapan nyalang yang Renjun dapatkan setelah Jena melempar kasar dua buah polaroid tepat di depan wajahnya.

Seulas senyum mengerikan yang tak pernah Renjun lihat di wajah teduhnya kini terpampang jelas sedetik sebelum ia meninggalkan Renjun seorang di dalam ruangan,

"You son of a bitch! Let's break up!"

Penyesalan memang datang terakhir, seharusnya Renjun paham akan situasi ini terlebih ia mengambil langkah yang benar-benar fatal.

Kini lelaki itu termenung dalam diam. Beribu kali menyesali perbuatannya. Rasa sesal menyelimuti hati, pikiran, dan perasaannya. Meninggalkan luka yang sangat dalam saat wanita yang ia cintai pergi begitu saja.

Hatinya kembali tertohok tepat sepasang netra menangkap foto dirinya bersama wanita simpanannya.

Dalam frame yang tercetak jelas. Keduanya satu selimut, tak memakai pakaian sehelaipun.

Dunia Renjun sudah benar-benar hilang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gone | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang