.Prolog.

21 9 0
                                    

"Aku terjebak pada sebuah ruang luas yang tak terbatas, bernama rasa hanya saja tak terbalas"

🍂🍂🍂

Aku tapakkan kakiku keluar dari pintu gedung sekolah, sial cuman aku yang gak punya payung. Gerutuhku sembari menatap langit mendung seolah-olah langit mewakili perasaanku.

Angin meniup rambutku, semula hujan rintik kecil menetes mengenai permukaan telapak tanganku. Namun, semenit kemudian hujan deras turun membasahi seluruh permukaan yang ada, termasuk dia.

Aku melihat Daniel berlari kencang di tengah derasnya hujan, Aku melihat sebuah payung di tangan. Tapi kenapa tak dia kenakan?

Apa dia sengaja membuat rambutnya basah, agar dapat di kibas-kibas dan membuat orang-orang terpanah?

Dia berjalan menghampirku. Aku ralat, dia tidak menghampiriku. Banyak siswa lain sedang berdiri sisini, dan aku yakin bukan aku yang ingin dia hampiri.

Sesaat mata kami bertemu, mata coklat itu seperti memberi isyarat tertentu, entah apa itu, aku juga tak ingin tau. Beberapa detik kemudian ia mengalihkan padangannya. Dasar tengil, aku mengumpat di dalam hati.

Dia memasuki gedung sekolah dengan baju yang setengah basah itu, beberapa temannya mendekat dan menyapanya. Banyak dari adik kelas juga berperilaku yang sama. Sebegitu populernya kah dia?

Selang beberapa menit hujan kembali redah, sungguh aku harap hujan tak kembali deras, aku ingin segera kembali kerumah, menyeduh teh sembari menonton Drama Korea, oh nikmatnya.

Ketika aku henjak beranjak, tiba-tiba seseoran dari arah belakang menyenggol pundakku dan membuat aku tersentak.

'agh!' untungnya aku masih bisa menahan tubuhku agar tak tersungkur. Hanya saja ponselku tak mampu untuk aku selamatkan.

Aku melihat seorang gadis mengenakan sepasang sepatu yang talinya tak terikat sama sekali. Sehingga aku menduganya dia tak sengaja menyenggol pundakku karena tak sengaja tersandung tali sepatunya sendiri.

Perempuan itu dengan sigap ingin mengambil ponselku yang terjatuh. Namun, Daniel lebih dulu meraihnya.

"Lain kali hati-hati" ucap laki-laki tengil itu pada perempuan yang tak sengaja menyenggolku.

Aku tak melihat wajahnya dengan jelas, perempuan  tersebut mengenakan jaket berwarna hitam beserta penutup kepalanya, rambutnya terurai kedepan sedikit menutupi wajahnya.

Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya, ia hanya menunduk sekali, sebagai tanda permintaan maaf. Kemudan, segera perempuan itu berlari meninggalkan kami berdua, bersama riuhnya suara anak-anak yang lain yang sedari tadi memperhatikannya.

Daniel yang berdiri di sampingku, membersihkan ponselku yang kotor dengan mengambil tisu yang ada di sakunya. Dia memang tak hanya selalu sedia payung sebelum hujan, tapi juga sedia tissu sebelum dibutuhkan.

"Hemm" dia bergumam sembari menyodorkan ponselku yang sudah tampak bersih.

"Thanks!" Aku mengambilnya, akupun mengalihkan pandanganku ke arah langit yang masih sendu.

"Nih" lagi-lagi dia menyodorkan payung yang ia bawa sebelumnya, tapi tak ia kenakan.

Aku menatap matanya lekat. Mencoba membaca, tapi dia adalah laki-laki yang sulit. Sulit untuk ditebak.

"Ambil"

"Gak" aku menolak.

"Kenapa?"

Aku tak menjawab pertanyaannya.

Senja Di Waktu yang LaluWhere stories live. Discover now