"Arah Pulang"

23 4 4
                                    

Kicauan burung meramaikan suasana yang seharusnya sepi. Nyaman, itu yang dirasakan Darel. Padahal seperti baru kemaren dia menghirup basahnya gundukan ini. Nyatanya sudah tiga tahun kejadian itu berlalu.

"Mah ... Darel kangen Mama ..." Darel menahan suaranya. "Adek juga kangen sama Mama," lanjutnya.

Perasaan itu masih tetap sama, masih sesakit saat dia melihat tubuh mamanya terbaring 'tak berdaya. Karna pada kenyataannya segalanya berubah total. Keluarga yang selalu menyambutnya dengan tawa, sudah 'tak sama lagi. Papanya jarang berada di rumah dengan alasan pekerjaan. Darel dan adik perempuannya diasuh oleh pengasuh mereka sejak mamanya masih ada.

"Mah, besok Darel udah 17. Kata Mama, kalau Darel udah di usia itu, Darel boleh ngelakuin yang baik menurut Darel, kan Mah?" tanya darel memberi jeda. Berharap mamanya datang, sekedar mengatakan 'iya' dan mengelus rambutnya seperti dulu.

"Maafin Darel kalo Darel gak bisa jadi anak yang Mama mau, maafin Darel kalo Darel gak bisa jadi abang yang baik buat Dira." Darel menggenggam kuat nisan sang ibunda. "Darel pamit ya, Mah ..." ucapnya kemudian beranjak meninggalkan pemakaman itu.

***

Singkatnya, Darel ingin meminta izin pada mamanya. Dia ingin berkelahi. Selama ini dia menjadi korban bully di sekolahnya. Bukan 'tak bisa melawan, dia hanya mengingat kata-kata mamanya. Ketika dia berumur 17, baru dia bebas melakukan apa yang dia mau. Begitu kata mamanya, meski sebenarnya Darel sudah salah menilai kalimat itu.

Pagi ini dia bersiap dengan percaya diri. Berdiri menatap cermin yang memantulkan bayangan berseragamnya. Tentu saja seragam SMA. Jika hanya menghajar semua orang di sekolahnya, itu adalah hal mudah. Dia sudah mengikuti kegiatan bela diri sejak umur 5 tahun. Semangatnya hari ini tidak main-main.

"Kak ..." Tangan mungil menempel di daun pintu berwarna cokelat itu. Dira, itu adik Darel.

"Dira, ngapain?" tanya Darel menghampiri dan menggendong bocah lima tahun itu.

"Ila pengen sekolah, kata Nenek tanyain Kak Dalen ..."

"Ira mau sekolah? Boleh. Tapi tunggu Ira bisa sebut nama Kakak yang bener. Darel, gitu."

"Bisa. Dalen, gitu."

"Ahahahaha ... belum bisa," tawa Daren membuat Dira merengut. Padahal sepertinya dia sudah mengatakan 'Darel', kenapa masih ditertawakan?

"Kak Dalen," panggil Dira mengalungkan tangannya ke leher sang kakak, tanpa memperdulikan hal sekolah lagi.

"Hmm," jawab Daren masih berjalan membawa Dira menuju meja makan.

"Ila kangen Papa, Ila kangen Mama. Papa gak pulang telus, Ila juga gak pelnah diajak ke lumahnya Mama."

Sakit. Itu yang dirasakan Daren. Rumah yang dimaksud Dira adalah pusaran tempat mamanya dimakamkan. Sementara papanya, Daren pun 'tak tahu dimana beliau. Jika sesekali bertemu pun Daren tak pernah bertanya.

Daren 'tak menjawab. Dia memberikan Dira pada Bi Esti yang dipanggil Nenek oleh Dira, lalu pergi setelah mengelus puncak kepala adiknya. Bodo amat dengan sarapan, semangatnya semakin terpacu pagi ini.

Sesampainya di sekolah dia melangkahkan kakinya dengan percaya diri. Jika biasa dia ke sekolah dengan wajah murung, kali ini dia mengangkat wajahnya dan memaksakan senyum.

"Widiiiihhhh ... suasana hati boss kita bagus nih kayaknya," seru seorang dengan perawakan tinggi. Dia orang yang selalu membuli Darell. "Bawa berapa hari ini?" tanya orang itu memegang pundak Darel.

Argh! Orang itu menjerit saat Darel mencekal dan memutar tangannya yang digunakan untuk memegang pundak Darell.

"Gue mau lo bayar semua, sekaligus. Istirahat pertama di gudang belakang," ucap Darell dan melengos pergi.

Album KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang