12. Seutas Tragedi

34 1 0
                                    

Gelap. Hanya kegelapan yang menemani seklilingku. Tak ada cahaya yang mampu membimbingku. Rasanya seperti sesak, tak bisa bernapas. Ah, sebenarnya di mana aku? Mengapa sekelilingku penuh dengan air? Apa aku akan mati? Tapi, kenapa aku harus mati?

Waktu seolah berputar cepat, tapi aku tetap tak bergerak. Semakin dalam aku tenggelam, semakin gelap pula sekelilingku. Semakin dalam aku tenggelam, semakin aku mengantuk. Sampai seseorang berteriak memanggil namaku, "Aven!" barulah aku terbangun.

Samar-samar aku membuka mataku. Sudah banyak orang-orang yang mengelilingiku dengan suara gaduh. Tubuhku lemas bahkan saat orang-orang mengangkatku ke dalam ambulan menuju rumah sakit.

Kenapa aku jadi seperti ini? Apa mungkin ... aku terlalu ikut campur dalam kehidupan orang lain?

°°°

Aku bukanlah orang yang memiliki banyak teman di sekelilingku. Hanya saja aku tidak bisa jika harus pura-pura tidak peduli dengan nasib orang-orang di sekitarku.

Setiap berangkat ke sekolah aku selalu melihat tetanggaku yang berseteru. Aku ingin sekali mengabaikannya, pura-pura tidak melihat. Sialnya hatiku selalu menolak. Dengan terpaksa aku selalu mererai pertengkaran mereka, apalagi ketika suami akan memukul istrinya. Alhasil aku lah yang terkena tamparannya.

Saat sampai di sekolah, pagi hari selalu sedikit menenangkan untukku. Tidak menemukan perkelahian karena aku selalu datang tepat bel berbunyi, sehingga aku langsung masuk ke kelas tanpa berkeliling.

Menjadi komite disiplin di sekolah seperti tanggung jawab yang besar untukku. Setiap jam istirahat, aku selalu berkeliling sekolah sambil memakan roti isi dan susu almond kesukaanku.

Seperti istirahat kali ini aku sedang berkeliling sekolah. Orang-orang seperti biasa menyapaku. Tidak semua orang menyukaiku, justru banyak sekali yang membenciku karena mereka merasa terusik dengan kehadiranku. Hanya saja aku tidak bisa diam ketika melihat orang lain ditindas. Aku tidak peduli meski orang lain melanggar aturan sekolah seperti membawa kosmetik, merokok, atau bolos. Yang aku pedulikan hanya satu. Ketika ada siswa yang ditindas aku akan langsung membelanya.

Setelah gedung olahraga aku akan sampai di belakang sekolah. Tempat para jagoan sekolah berkumpul, meloncati pagar, dan menindas orang lemah.

Benar saja saat aku tiba di sana, tiga orang jagoan-seniorku-sedang merundung orang yang seangkatan denganku. Hanya karena teman seangkatanku tak mau memberikan uangnya pada seniorku dia dipukuli, diinjak-injak, bahkan harga dirinya pun sudah ternodai.

"Hentikan!" teriakku membuat ketiga seniorku melirikku dengan dagu sedikit terangkat, memandangku remeh.

"Hoi! Jadi, kau yang namanya Aven?" tanya salah satu senior dengan janggut di dagunya.

Aku sedikit menelan ludah sebelum akhirnya maju dengan berani. "Ya. Aku Aven. Komite disiplin."

"Cih! Mungkin aku tidak akan menghajarmu di sekolah, tapi lihat saja nanti saat di luar."

Ketiga senior itu pergi meninggalkan aku dan teman seangkatanku yang dirundung. Segera aku menghampirinya.

"Pergilah ke UKS!"

Laki-laki itu tak berani menatapku. Tanpa sepatah kata dia langsung pergi begitu saja seolah aku adalah setannya.

°°°

Hari ini aku pulang sedikit terlambat dari biasanya. Hal ini karena aku harus membuat laporan akhir bulan sebagai komite disiplin. Terlihat merepotkan, tapi aku menyukainya.

Lembayung senja sudah tampak, cahayanya memantul pada air sungai yang aku lewati sepanjang jalan menuju rumah membuat jalanan yang aku pijak mendapatkan cahayanya.

Dari kejauhan aku melihat seseorang yang disandarkan secara kasar pada pagar jembatan. Tak salah lagi itu kakak kelasku yang tadi. Dia merundung anak sekolahan lain. Entah apa yang membuatnya berlaku seperti itu. Jika saja aku telat menarik anak sekolahan lain, mungkin sekarang dia sudah tenggelam.

Seniorku sepertinya sudah naik pitam lantaran aku selalu mencampuri urusannya. Dari sanalah perkelahian dimulai.

Kami saling beradu pukul. Jangan remehkan kekuatanku sebagai komite disiplin. Meski tubuhku tidak kekar, nyatanya pukulanku bisa membuat hidung seniorku berdarah. Hanya saja, seniorku mampu melakukan hal yang lebih parah padaku. Dia memukul tak hanya bagian wajah, melainkan bagian perut yang membuat darah keluar dari mulutku, menendang tulang kering di kakiku, dan hampir mematahkan tanganku. Sampai akhirnya aku mundur perlahan, menabrak pagar jembatan. Aku tak bisa apa-apa lagi. Tubuhku sudah terkulai lemas.

Di hari itu, aku seperti tidak melihat lagi sisi manusia dalam seniorku. Dia justru menyeringai layaknya iblis, mengatakan kata-kata yang tak mampu aku dengar karena telingaku terus berdengung.

Sebelum mataku tertutup, aku melihat dia dengan tega melemparkanku begitu saja dari atas jembatan pada sungai yang jaraknya kurang lebih 15 meter.

Setelah kejadian itu aku tidak sadarkan diri. Kini aku bertekad untuk menutup mata dan telingaku. Aku sudah hancur. Hancur karena terlalu peduli pada urusan orang lain yang bahkan mereka tak peduli pada urusanku. Tak peduli lagi akan kejadian di sekelilingku. Aku tak ingin lagi jadi Aven Si Pahlawan Kekerasan.

°°°

End

A/N

Kali ini aku enggak ada review atau rekomendasi film dulu ya. Aku sebenarnya ada tugas disuruh bikin cerpen buat portofolio. Sekalian aja aku publish di sini, sayang soalnya;p

30 Daily Check InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang