5. Rosi

32 1 0
                                    

Rosi

"Maafkan saya atas insiden kecil ini, Tuan, Nyonya." Stephanie tampak bingung, berkali-kali ia meminta maaf, tetapi kesalahannya sungguh sulit kami maafkan.

"Penis anak saya terbakar Anda bilang insiden kecil?" Ben berbalik menatap dokter itu dengan tatapan marah.

Stephanie menelan ludah dengan susah payah. " Maafkan saya."

Ben menggeleng. "Seberapa parah lukanya?"

Stephanie menunduk. "Saya tidak bisa memastikan, kita harus melakukan cek lab untuk mengetahui apakah luka bakarnya mengganggu fungsi seksualnya atau tidak."

"Saya ingin melihat sendiri lukanya. Buka perbannya!" Ben ingin memastikan sendiri, setelah apa yang terjadi, ia tak lagi percaya pada Stephanie.

Saat itu, aku benar-benar tak bisa berpikir jernih. Aku terus duduk memandangi anakku dari dekat. Aku berpikir, mengapa waktu itu aku tidak menanyakan kepada dokter Edward, apakah ada jalan lain untuk mengatasi fimosis selain sirkumsisi? Aku juga tak bertanya bagaimana metode sirkumsisi sebenarnya, berapa lama, dan alat apa yang digunakan? Aku tak menanyakan secara detil apa risikonya. Aku percaya begitu saja, berharap dokter spesialis itu bisa mengatasi masalahku. Sebagai Ibu aku merasa gagal melindungi anakku.

Dokter Stephanie bilang ini kecelakaan kecil, tetapi kami tidak percaya, karena aku bisa melihat dengan jelas perban yang membungkus penis Kenan basah dan berwarna kuning kemerahan. Aku melihatnya ngeri, mungkin itu yang membuat Ben ingin melihat sendiri luka Kenan.

"Saya tidak bisa membukanya," ucap Stephanie tegas.

"Kenapa?" tanya Ben.

"Saya khawatir kulitnya akan mengelupas dan menempel ke perbannya."

Ben menggeleng. "Dok, apa yang Anda lakukan kepada anak saya?" Aku melihat suamiku mengepalkan tangan.

"Maafkan saya, Tuan. Ini sebuah kecelakaan yang tidak disengaja."

"Mana ada kecelakaan yang disengaja? Ini bukan hanya kecelakaan, ini sebuah kelalaian!"

Stephanie menelan ludah. "Saya akan mengusahakan perawatan Kenan sebaik mungkin. Saya akan bertanggung jawab atas Kenan, Tuan." Stephanie meyakinkan.

"Sudah seharusnya." Ben mendekat ke arah Kenan, berdiri di sebelahku. "Pangkal paha Kenan mengelupas, ini pasti menyakitkan untuk anakku, Dok." Matanya mengembun. "Dokter tidak tahu berapa lama kami menunggu anak, kami bahagia Kenan lahir dengan sempurna, tapi sekarang lihat kondisinya? Bahkan saya tidak bisa membayangkan bagaimana masa depannya nanti."

"Saya bersumpah ini baru pertama kai terjadi."

"Lalu kenapa anak kami, Dok?" Aku berdiri, tak tahan dengan penjelasan dokter yang terkesan banyak yang disembunyikan.

"Berapa persen luka bakar di penis Kenan?" tanya Ben.

Stephanie terdiam.

"Jawab, Dok! Saya harus tahu! Saya orang tuanya!" teriakku di depan wajah Stephanie

"Ha-hampir 90%."

Ben menarik napas panjang. Bibirnya bergetar hendak marah tapi sekuat tenaga menahannya. Aku mengenal Ben, ada gambaran rasa bersalah yang ada di wajahnya. Aku juga menyesalkan sikapnya yang terburu-buru mengambil keputusan sirkumsisi itu. Ben mengepalkan tangan, hampir saja menonjok wajah dokter itu, tapi akhirnya ia memukul tembok.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang