00

187 22 1
                                    

“Stop malas-malasan, sialan! Lo bikin gue mau lempar lo ke inti bumi, brengsek!”

Lelaki tampan yang sedang berbaring malas pada sofa butut di sudut ruangan yang tak bisa dikatakan luas itu mendengus. Tangan kanannya yang semula ia letakan di atas dadanya perlahan ia gunakan untuk menutup wajahnya—mengabaikan kalimat menyebalkan yang sudah ia dengar lebih dari tujuh puluh kali sejak ia masuk ke ruangan itu sekitar pukul tiga dini hari tadi. Ngomong-ngomong sekarang sudah pukul delapan pagi.

Dan ya! Lelaki itu belum bisa tidur karena sejak ia tiba, pemilik dari rumah di mana ruangan yang ia tempati saat ini tak pernah berhenti mengoceh, kecuali jika ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Entah apa isi pesan itu, lelaki itu tak mau peduli. Yang ia pedulikan saat ini adalah waktu istirahatnya. Terkutuklah pemilik rumah sialan itu karena sampai saat ini masih mengucapkan kalimat yang sama.

“Bajingan, inti bumi masih lebih bagus buat lo. Mending lo ke neraka aja sana. Gimana bisa ada manusia kayak lo? Lo gak akan sukses kalo yang lo lakuin cuma malas-malaan dan nganu sembarangan, HEH HWANG YUNSEONG!”

Pemilik rumah itu tiba-tiba tersentak kaget, saat lelaki yang telah ia ceramahi sejak dini hari tadi secara tiba-tiba menurunkan tangannya dari wajahnya dan bangun dari posisinya dengan kasar. Dapat ia lihat jika lelaki itu tak memberikan reaksi apapun terhadap ocehannya dan hanya menatapnya dengan datar tanpa minat.

“Berisik!” walau pelan, pemilik rumah itu dapat mendengar dengan jelas apa yang baru saja lelaki yang ia sebut pemalas itu katakan, “Simpan semua omong kosong lo tuh buat si bangsat Yoonbin!” lanjutnya sambil beranjak dari sofa, kemudian melangkah malas ke arah pintu di sisi kanan ruangan itu.

“Heh, Yoonbin tuh gak brengsek! Dia udah berubah sejak ketemu Jihoon. Lo yang lebih brengsek, bocah sialan!” Pemilik rumah yang sejak tadi duduk di kursi kayu di sisi jendela menjawab ucapan lelaki pemalas bernama Yunseong tadi dengan kasar—kesal juga karena lelaki yang lebih muda tiga tahun darinya itu selalu seja bersikap kurang ajar.

“Dan lo sama aja kayak si Jihoon yang percaya sama dia kalo dia udah gak brengsek.”

Yunseong tak peduli banyak. Ia sudah terlalu biasa menghadapi mahluk semacam Choi Byungchan—pemilik rumah tadi—dan ia sudah cukup muak untuk terus di sana dan mendengarkan lelaki Choi itu.

Lagi pula, niatnya ke rumah Byungchan adalah numpang tidur hingga matahari terbit, seperti biasa sebelum ia kembali pada pekerjaan murahannya.

Rumahnya?

Oh, Yunseong terlalu miskin untuk bisa punya rumah sendiri. Dan itu memang benar. Lelaki bermarga Hwang itu memang setidakjelas itu. Jangankan rumah, kehidupanpun Yunseong tak punya.

Hwang Yunseong.

Lelaki itu hanyalah anak yatim piatu yang kabur dari panti asuhan  tempat tinggalnya saat ia berusia sembilan tahun karena dikucilkan. Ya, hampir semua penghuni panti asuhan tempat tinggalnya dulu tak suka padanya dan selalu mengucilkannya. Alasannya tentu seorang Yunseong tak mau repot-repot untuk mencari tahunya. Yang ia pikirkan saat itu adalah kabur dan keluar dari segala ketidakadilan yang diterimanya.

Sempat luntang lantung selama dua hari dan hampir mati kelaparan, Yunseong diselamatkan oleh Ha Yoonbin, bocah lelaki yang seusia dengannya. Yoonbin adalah anak orang kaya yang orang tuanya super sibuk namun mengawasinya tanpa henti, sehingga ketika ia menemukan Yunseong, ia lantas membawa bocah malang itu ke tempat Han Seungwoo—kakak sepupunya—yang tinggal sendirian karena orang tuanya telah meninggal.

Dengan Seungwoo, Yunseong dibesarkan dengan baik. Walau saat itu usia Seungwoo baru lima belas tahun, ia sudah bisa merawat Yunseong seperti adik kandungnya sendiri. Bersama Seungwoo juga Yunseong bisa menempuh pendidikannya hingga sekolah menengah atas—dengan beasiswa dan dukungan Seungwoo, tentu saja.

THAT MAN || HWANGMINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang