⚠️ sexual harrasment
⚠️ mention of d wordPark Jimin terbangun dengan posisi duduk yang sama sekali tak nyaman, sementara kaki tangan nya terikat kuat pada kursi yang ia duduki. Lelaki manis itu mengerjapkan matanya yang sipit, perlahan menyapukan pandangannya ke seluruh sudut ruang. Oh Tuhan .. ini menjijikan, ruangan ini bahkan masih terlalu buruk untuk disebut gudang. Hewan pengerat yang berkeliaran dikaki nya, tetes air bocor dari pipa-pipa saluran, dan sampah-sampah lama yang berserakan. Buruk.
Jimin menghela nafasnya, lelah sekaligus muak dengan kejadian seperti ini yang terus terjadi berulang kali.
Tapi hanya karena hal ini sudah familiar di alaminya, bukan berarti ia tidak was-was. Sebab, meski sudah pasti bawahan ayahnya menyelamatkannya, Jimin tak pernah tau, apa yang bisa dilakukan musuh ayahnya kali ini selama masa menunggu.
Krekk~ krekkk~ krekkk~
Lelaki manis itu menoleh ke arah sumber suara, pada pintu baja yang perlahan terangkat. Tidak terkejut sama sekali ketika matanya menemukan -mungkin- rekan kerja ayahnya yang tempo hari berpapasan dengannya di rumah. Mungkin mereka tidak menemukan titik terang atas suatu kesepakatan, atau mungkin menemukan titik terang, tapi lelaki yang perlahan mendekat dengan beberapa bodyguard dibelakangnya ini, tidak puas. Ada banyak kemungkinan, tapi yang jelas Park Jimin sama sekali tak peduli.
Jimin yang kini memakai kemeja putih tipis dan celana jeans panjang, memutar mata jengah. Ia bahkan baru saja selesai tampil disalah satu stasiun tv, ketika orang-orang asing ini tiba-tiba menyergapnya.
Lelaki bertubuh tegap itu, mungkin seumuran ayahnya. Melangkah pasti ke arah Jimin dengan seringai yang tak hilang, lalu jari telunjuk dan tengahnya mengapit dagu Jimin, membawa wajahnya terangkat, dipaksa menatap obsidian dihadapannya.
Jimin tidak terlalu ingat, tapi sepertinya lelaki itu bernama Mr. Lee.
"Manis juga anaknya seojun, gue cicipin dulu kali ya?"
Bodyguard dibelakang Mr. Lee terkekeh mendengar ucapan tuannya, sementara yang dibicarakan hanya menatap penuh kebencian. Tepat ketika wajah lelaki paruh baya itu berjarak tinggal beberapa senti dari wajahnya, Jimin meludah, tidak menyesal sama sekali melihat lelaki itu murka saat mengusap bekas ludahnya di wajah.
"Sialan" desisnya, tangan Mr. Lee kemudian beralih mencengkeram rahang Jimin, memaksa mulutnya terbuka, dan menyatukan bibir mereka dengan paksa, sementara tangannya yang bebas turun menuju kancing kemeja lelaki manis itu, membukanya dengan tak sabaran.
Jimin mati-matian memberontak, meski geraknya amat sangat terbatas. Air matanya turun satu persatu, lalu yg lainnya menyusul semakin deras. Demi Tuhan, Jimin masih sangat ingin hidup, tapi kalau seperti ini ceritanya, ia lebih baik mati menyusul ibunya.
Jari-jari lelaki dominant itu hanya tinggal beberapa senti dari tubuh Jimin yang telah terekspos sebagian, menggoda perlahan. Ketika huru-hara suara ledakan terdengar secara tiba-tiba, disusul suara tembakan terdengar bersautan.
Lelaki diatas Jimin mendengus, menegakkan tubuhnya sambil merogoh senjata api yang ada di balik jas nya, lalu menodongkan senjatanya tepat pada lelaki bertopeng yang sedetik lalu muncul dari balik pintu baja yang telah hancur hampir tak bersisa.
Jimin sempat kebingungan, lelaki itu siapa? Tidak biasa nya ayahnya membayar orang yang berbeda untuk menyelamatkannya. Ahh .. itu mungkin suruhan ayah Jimin yang lain, sebab pada kasus yang kemarin ia hampir saja terbunuh tak selamat ditangan musuh ayahnya. Hingga Jimin terkesiap ditengah kebingungannya ketika Mr. Lee menarik pelatuknya, timah panas itu melesat cepat tepat mengarah ke jantung lelaki bertopeng.
Jimin memejam ngeri, enggan menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Matanya semakin erat menutup jerih ketika suara tembakan terdengar sekali lagi disusul dengan teriakan yang sudah jimin yakini berasal dari lelaki yang mungkin seharusnya menyelamatkannya. Lalu sepersekian detik selanjutnya, Jimin kembali mendengar baku tembak yang semakin ramai. Lelaki manis itu melemas, masih dengan memejam, semakin enggan menyaksikan huru-hara dihadapannya, berpikir bahwa kisah hidupnya sudah diujung tanduk, mustahil diselamatkan. Orang yang seharusnya menyelamatkannya bahkan sudah mati lebih dulu, payah.
Setidaknya pemikiran itu masih berkecamuk dikepala jimin beberapa detik, sebelum ia kemudian merasakan seseorang berusaha melepaskan ikatan tangannya pada kursi. Park Jimin spontan membuka mata, terkejut ketika yang dilihatnya tergeletak dengan banyak darah justru Mr. Lee, semakin dibuat terkejut ketika mengetahui lelaki bertopeng tadi berada dibelakang kursinya, tengah memotong tali ikatannya dengan pisau kecil, lalu beralih pada ikatan kakinya juga. Lalu kepalanya mendongak, menatap Jimin yang masih kebingungan,
"Gue suruhan bapak lo, percaya gue ya?"
Jimin pikir tidak seharusnya mempercayai orang yang bahkan baru pertama kali bertemu di medan baku tembak, bisa saja lelaki dihadapannya ternyata musuh ayahnya yang lain, tapi entah kenapa dua obsidian bulat dihadapannya menuntunnya untuk mengangguk perlahan. Untuk kemudian disepersekian detik setelahnya, Jimin merasa dirinya melayang ringan. Ia dibawa lari, digendong ala bridal style.
Jimin sebenarnya -dan memang sudah seharusnya- masih meragu, tapi kemudian ia memilih percaya. Sebab jika memang lelaki ini berniat jahat, berarti memang pilihannya sejak awal adalah 'mati atau mati'. Lelaki manis itu mengeratkan pegangannya pada leher lelaki dengan tubuh kokoh ini, sebelum setelahnya ia merasakan sebuah tusuka di lengan kirinya dan kesadarannya secara perlahan hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Born of night ▪︎Jikook vers.
Ação⚠️ mpreg ⚠️ bxb Jeon Jungkook- ahh tidak, 99% manusia di bumi mengenalnya dengan nama seagull, pembunuh bayaran paling handal dengan bayaran paling mahal di seluruh penghujung dunia, bergerak dibalik sunyi dan tidak tersentuh. menjadikannya buronan...