Perihal hidup dan nasihat Bapak
Pagi ini hariku ditemani dengan secangkir teh hangat dan koran baru yang sengaja diantar untukku─biasanya koran ini akan diantar untuk Bapak. Dan tidak pernah ada lagi koran yang diantar setelah Bapak pulang. Dengan khidmat aku membaca lembar penuh tulisan itu dengan seksama sambil beberapakali menyeruput teh. Sebenarnya aku bukan tipe yang sering membaca koran pagi, hanya saja hari ini aku sedikit penasaran tentang apa yang biasa Bapak baca dalam koran. Semenarik itu sampai Bapak kadang enggan beranjak dari teras depan rumah hanya untuk sekedar menemui Ibu yang katanya rindu. Ah, lagipula aku juga akan berpikir jutaan kali untuk menemui Ibu yang hanya ingin melihat wajah suaminya jika aku menjadi Bapak.
Tapi Bapak bukan tipe laki-laki yang cuek. Beliau adalah seseorang yang pengertian dan penuh warna. Apalagi untukku, Bapak adalah ciptaan Tuhan paling spesial, karena diantara Ibu dan Bapak aku lebih dekat dengan Bapak. Tapi, bukan berarti aku jauh dengan Ibu. Kami bertiga benar-benar dekat dan terbuka karena kami adalah keluarga. Tapi dengan Bapak, aku akan jadi sosok yang jauh lebih terbuka, jauh lebih manja, jauh lebih dari sikapku yang kadang cuek pada orang luar.
Serta Bapak juga adalah laki-laki yang tegas dan serius yang lucu. Namun kadang dia menjadi seorang pelawak yang garing. Itu yang membuatku merasa lebih bisa mengekspresikan diriku. Ingat sekali dulu saat aku dan Bapak duduk berdua di teras depan rumah, Bapak pernah dengan jujur mengungkapkan rahasia yang sangat rahasia. Bapak juga bilang Ibu bahkan tidak tau tentang ini karena saking rahasianya.
“Boleh Bapak jujur?” tanyanya serius.
Kala itu jujur jantungku langsung berdetak lebih dari biasanya. Takut-takut Bapak akan memarahiku karena tak suka aku pulang diantar teman laki-laki. Namun nyatanya
“Sebenarnya Bapak dan Lee Min-ho itu anak kembar.”
Ketika itu, saking kagetnya aku hampir saja menelan seluruh kue nastar bulat-bulat yang disiapkan Ibu sebelumnya. Lee Min-ho? Sejak kapan dia mengenal aktor kelahiran Korea Selatan itu? Atau jangan-jangan selama ini Bapak sebenarnya sering menonton siaran Korea? Entahlah. Tapi dibalik kalimatnya yang kadang membuat darah rendah merubah menjadi tinggi, Bapak adalah laki-laki dengan segudang nasehat. Soal cinta, laki-laki, sahabat, pekerjaan, hidup, bahkan tentang sulitnya menjadi manusia di bumi indah ini.
“Nak, kalau besar nanti tolong jadi manusia yang kaya ya.”
“Kenapa harus jadi kaya? Bukannya kita harus jadi manusia baik supaya kita bahagia. Pak, kaya itu gak menjamin segalanya,” aku jelas protes dengan kalimatnya.
“Tolong jadi manusia yang kaya, kaya hatinya dan kaya pemikirannya. Jangan cuma hartanya.”
“Kamu juga benar. Kita juga harus jadi manusia baik. Walau hidup cuma sekali, tapi cobalah untuk baik berkali-kali.”
“Jangan lupa... baiknya jangan cuma ke orang lain, tapi ke diri sendiri juga.”
Hatiku rasanya berdesir. Kalimat-kalimat Bapak selalu bisa jadi obat dikala aku merasa hidup ini sangat menyesakkan. Jadi pengingat dikala aku lupa harusnya aku memberikan sedikit dari yang aku punya. Dan jadi pondasi untuk hidupku yang semoga saja jadi lebih berguna.
Bapak itu manusia paling langka menurutku. Ibu bahkan bilang bahwa ketika dia mendapatkan Bapak, rasanya seperti triliunan emas turun dari langit. Tidak tau saja kalau dulu yang lebih sering mengajak jalan itu Ibu. Dulu Bapak katanya cuek, menoleh kalau diberi dua batang rokok. Sepertinya itu bukan cuek, tapi matre. Tapi Bapak tetaplah Bapak, yang diam-diam berjuang untuk restu nenek demi menikahi Ibu si wanita idamannya.