hallo!

17 5 1
                                    


Malam ini tepatnya pada pukul 20.23 menit, aku dihadapkan dengan pilihan yang berat. Aku dipaksa untuk memilih antara realita atau mengikuti egoku. Kalau aku memilih realita sama saja aku bunuh diri, kembali mengoyak luka lama dan aku tidak mau melakukan hal itu! Atau kalau aku memilih mengikuti ego yang ku punya, aku merasa tak yakin karena aku tak mau melakui banyak pihak. Jadi, lebih baik bunuh diri dengan mengoyak luka lama atau membiarkan orang lain yang merasakan sakit?

Hei, aku bukan seorang psikopat atau masokis ya! Tentu aku tidak ingin ada yang terluka dan membunuh diri sendiri. Ini hal yang krusial banyak hal harus dipertimbangkan. Aku butuh kepala lain untuk aku ajak bertukar pikiran. Dan, aku memutuskan untuk menghubungi salah satu sahabatku.

Ku hubungi sahabatku ini melalui aplikasi chatting, ku kirimkan pesan bertanya, "apakah kau senggang? Aku butuh teman bertukar pikiran." Pesan ku tidak langsung dibalas, wajar saja ini sudah malam dan tak semua orang terus menerus menggenggam ponselnya. Selang beberapa saat handphone ku bergetar kecil menandakan ada pesan masuk.

"maaf baru balas. Mau bercerita lewat chat atau telepon?" itu jawaban yang aku terima. Terlalu to the point, tapi aku suka, jadi aku tidak perlu bertele-tele sekedar basa-basi. Jariku berselancar diatas keyboard memilih opsi telepon. Dan, hampir satu jam aku habiskan untuk duduk dibalkon kamar lengkap dengan piyama biru gelap serta ponsel yang bertengker manis ditelinga ku.

"terimakasih atas sarannya! Aku benar-benar berterimakasih." Kalimat itu menjadi penghujung pembicaraan kami. Rasanya lega ketika menemukan orang tepat, dan memasukkanya kedalam list 'orang yang terkasih'. Pembicaraan malam ini hampir sama seperti kejadian 5, 6, atau 7 tahun yang lalu? Entahlah aku tak ingat kapan pastinya.

Kejadian dimana ketika aku baru memasuki jenjang SMA. Terombang ambing karena masa peralihan dari masa remaja menuju pra-dewasa. Yang harusnya ditemani keluarga penuh dukungan dan kasih sayang, namun naasnya justru aku dihadapkan oleh keadaan keluarga ku yang sedang tidak baik baik saja. Ayah dan ibu sering bertengkar tentang beberapa hal. Saling meneriaki satu sama lain, berselisih paham. Saat itu, aku benar benar butuh penguat untuk menyakinkan diri bahwa hari esok akan lebih baik. Dan, dia hadir, menjadi pendengar, menjadi penguat, memberikan penyemangat, menjadi teman dalam hal berkelakar. Menjadi orang yang paling berjasa akan keberlangsunnga kesehatan mentalku. Aku merasa seperti petambang emas tua yang menemukan bongkahan emas yang begitu indah dan berkilauan, begitu senang dan diberkati. Tapi, dilain sisi aku juga merasa malu dan kecil. Aku merasa tak pantas menjadi sahabatnya. Dan, perasaan itu masih terus ada hingga saat ini.

Ku hembuskan nafas pelan, merasakan segemilir angin malam yang begitu menenangkan. Lalu, kembali ku buka aplikasi chatting dan membuka roomchat antara aku dan sahabatku tadi. Ku tuliskan segala ungkapan syukur kerana tuhan dengan senang hati mempertemukan kami berdua, sedikit banyak bercerita masa lalu kami yang begitu nano-nano serta mengirimkan beberapa foto-foto kenangan kami.

"terimakasih untuk jalinan persahabatan 12 tahunnya. Jangan khawatirkan aku, tetap jalani kehidupan mu dengan baik. Setelah ini, jangan pernah sekalipun menyalahkan diri mu sendiri atau aku akan marah besar! Aku sudah tenang dan bahagia." Kalimat panjang itu menjadi pesan penutup yang aku kirimkan kepadanya. Ku hembuskan nafas lagi, meletakkan handphone diatas meja kecil hadapan ku.

Kaki ku berjalan mantap ke arah besi balkon yang tak seberapah jauh jaraknya. Dengan penuh keyakinan kaki ku memanjat naik besi balkon, hingga saat aku berada di besi balkon terakhir aku dapat merasakan kuatnya angin malam yang berembus membelai rambut dan permukaan wajahku. Kedua tangan yang menjadi penopang bobot tubuhku, ku lepaskan. Membiarkan tubuh ini jatuh menghantam tanah dari ketinggian lantai 18 apartemen.

"maaf...."

Ya, aku akhirnya memilih opsi keduanya. Mempertahankan egoku dengan membiarkan orang lain yang merasakan sakit dan mengikuti realita membunuh diri sendiri.

Bukankah ini impas?

HALLO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang