Bagian 1

231 13 1
                                    

“Papii!”

“Papii!”

“Papii!” Chimon mengejar langkah lebar seorang pria di hadapannya.

“Papii! Chimon mau ketemu sama Mamii!” teriak Chimon sambil menarik ujung jas pria itu.

“Cukup! Kenapa kamu selalu merengek minta Mamii, ada Papii sama Papa di sini.”

“Chimon malu punya 2 ayah. Chimon mau sama Mamii!” teriak Chimon.

“Jangan buat Papii emosi Chimon!” Papii mendorong tubuh mungil Chimon hingga jatuh terjerembab ke lantai marmer.

“Papii!” Seorang pria mungil membantu Chimon berdiri.
“Papii, Chimon masih kecil. Apa salahnya dia ingin bertemu Mamiinya?” tanya pria mungil itu.

Chimon kecil berusia 6 tahun itu menangis sesegukan. Rumah megah berlantai dua itu dipenuhi suara cempreng Chimon yang menangis. Para pembantu rumah berdiam diri melihat majikannya tengah bertengkar.

“Dia bukan anakku!” teriak Papii.

“Lalu, dia tetap darah dagingnya Namtarn!” balas pria mungil itu.

“Gun! Jangan berusaha membela anak yang bukan darah daging kita! Chimon itu anak Namtarn dan Arm! Dia bukan anakku!”

“Papii cukup!” teriak Gun, di tatapnya tajam pria tinggi di hadapannya.

“Puas Papii menyakiti hati Chimon dengan berkata seperti itu!”

“Terserah! Kemasi bajumu besok kita bertemu Mamii,” ucap Papii lalu pergi meninggalkan Chimon yang masih menangis sesegukan.

“Chimon sayang, ayo Papa bantu kemasi bajunya,” ajak Gun dengan lembut di tuntunnya langkah Chimon menuju kamar.

***

“Papii,” panggil Gun.

Pria jakung itu menoleh. Senyum getir ia berikan kepada pria mungil kesayangannya. Tepukan di kasur yang menandakan Gun untuk duduk di sisinya.

“Papii ... Gun rasa Papii terlalu keras pada Chimon, dia hanya anak-anak. Wajar Chimon malu saat diolok tidak punya ibu. Mana ada anak di dunia ini yang merasa normal saat mempunyai dua ayah,” jelas Gun.

“Maafkan aku, Sayang. Aku juga merasa seperti itu namun, wajah Chimon mengingatkan aku akan pengkhianatan yang dilakukan oleh Namtarn. Itu membuat luka lama kembali terbuka.” Papii mengusap kasar air mata yang mengalir di pipi putih porselennya. Wajah aristokrat khas bangsawan dengan dagu lancip dan hidung bangir. Sempurna namun pria tinggi itu penuh dengan luka batin.

“Gun minta Papii berbaikan dengan Chimon na?” pinta Gun.

“Iya, Sayang.” Papii mengangguk dan merentangkan tangannya. Gun tersenyum lembut kemudian masuk ke dalam pelukan hangat pria yang dicintainya.

***

“Chimon sayang,” panggil Gun.

“Iya, Pa. Chimon ke sana.” Langkah kaki mungil anak laki-laki berusia 6 tahun itu menuruni anak tangga yang terbuat dari marmer putih tulang. Senyum ceria tersungging di bibirnya.

“Papii ayo sarapan!” panggil Gun. Tak lama, pria tinggi dengan jas biru dongker menuruni anak tangga.

“Chimon gak mau ketemu Papii,” ucap Chimon. Anak kecil itu bersidekap dada dan memonyongkan mulutnya.

Lie | OffGun StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang