CC yang Jadi DC

374 7 0
                                    

CC itu kartu kredit. Aku gak pernah bikin, gak pernah ngurusin, gak ngaktifin juga pas dikirim ke kantor. Kupikir udah hangus dengan sendirinya jadi kubiarkan barang itu tergeletak di laci meja kerjaku sampai aku sendiri kelupaan.

Entah bagaimana caranya, Joni yang memang hobinya kredit bisa ngaktifin kartuku kemudian memakainya. Aku baru tahu ketika ada tagihan datang ke kantor. Setelah tanya sana-sini, akhirnya Joni ngaku kalau dia yang ngaktifin kartu kredit itu pas mejaku kutinggal shalat, tentu saja dengan hapeku yang juga di meja itu.

Gak tanggung-tanggung, limit lima juta langsung diembat. Aku tentu saja bingung bagaimana bayarnya. Tiap ada tagihan lewat telepon, kujelaskan bahwa temanku yang ngaktifin jadi aku tidak mau bayar.

Lama-lama utang lima juta itu jadi enam, tujuh, dan debkolnya galak-galak. Ada yang datang ke kantor, datang ke mess, tetapi pas aku tugas luar terus sehingga tidak ketemu.

Teman-teman keceritain apa yang terjadi sehingga mereka membelaku.

Suatu hari, aku di mess sendirian karena pulang dari luar kota. Ceritanya disuruh isoman, padahal gak isolasi juga orang satu mess campur baur sama teman-teman.

Bel berbunyi dan aku membuka pintu. Seorang berkulit hitam, badan penuh otot dan wajah seram berdiri di depan pintu.

"Bisa ketemu dengan Pak Fabrian?" Orang itu bertanya setengah mengancam.

Aku langsung berfikir kalau orang ini pasti DC alias Debt Collector. Tetapi karena aku tidak merasa berutang, aku jawab saja dengan tenang, "Ya saya sendiri."

Orang itu kemudian mengancam kalau aku tidak membayar tujuh juta sekian, aku bakal dilaporin polisi, disita rumah (kujelaskan itu mes kantor bukan rumah pribadi) serta dia sendiri mengancam bisa memukul sampai membunuhku.

Aku menjawab semua pertanyaannya yang kasar dan penuh ancaman itu dengan tenang. Kan kesalahan bank juga, yang ngaktifin bukan aku kok diterima.

Debat kusir berlangsung lama sampai aku kasihan, kusuruh abang yang tampaknya mulai kelelahan itu ke dalam. Kuberi minuman dingin dan snack. Dia awalnya menolak, tetapi lama-lama minum juga dan jadi tidak terlalu garang meskipun tetap kasar.

"Ya sudah begini saja Mas. Kalau Masnya engga mau bayar, mau engga saya ent*t, nanti saya anggap sudah mencicil lima ratus ribu," orang itu tiba-tiba memberi solusi yang membuatku kaget.

Saking kagetnya, sampai beberapa saat kupandangi orang itu dengan bingung campur marah dan terhina.

"Ya? Aku nanti engga nagih-nagih lagi sampai bulan depan."

Tentu saja aku menolak. Bahkan akhirnya aku mengusir dan balik mengancam lapor polisi. Orang gila, serapahku.

Orang itu mungkin mengira aku lemah sehingga dia menutup pintu dan bersikap seperti pemerkosa yang mendapat mangsa.

Aku memperingatkan dia untuk tidak mendekat. Karena dia malah menerkam, aku terpaksa menghindar sambil memukul bagian belakang tengkuknya. Agak keras, sehingga abang hitam itu langsung pingsan tergeletak.

Aku seret badannya ke mobil kemudian kubawa ke dekat tempat sampah komplek. Tak lupa kulepas baju dan celananya, kulempar ke tengah sampah.

Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena setelah itu aku mengganti nomor hape. Toh aku cuman staf kantor, bukan bagian marketing atau pur hasing yang nomornya berharga. Bagiku mudah saja mengganti-ganti nomor.

Kalau ada yang nelpon ke kantor kuminta resepsionis jawab aku sedang keluar kota.

Sekarang sudah beberapa bulan aku tidak ditagih-tagih lagi. Tidak ada sms, tidak wa, tidak juga orang datang ke rumah.

Lagian bukan salahku juga kok. Itu urusan bank sama Joni, biar saja Joni mengurusnya kalau nanti ada apa-apa.

Deb KolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang