03. Anjar

8 4 10
                                    

"

Dia benar-benar datang, entah untuk menanam ulang benih cinta, atau hanya sekedar memanen luka yang baru tumbuh belum lama.

-Mahyana

"

Malang, 28 Oktober 2021.

Debu tanah yang berterbangan di sekeliling rumahnya membuat gadis dengan setelan kemeja kotak-kotak serta celana berbahan katun warna moka ini mengerutkan alis, sesekali tangannya menghalau debu-debu yang berterbangan ke arahnya agar tidak memasuki mata.

Derai tawa dan suara motor yang digas dengan main-main membuat ia ingin berlari dan melemparkan sendal yang kini ada di depan kakinya. Sejenak, dia tahan keinginannya itu untuk menunggu adakah atraksi dari salah satu mereka yang jatuh tertimpa motor.

"Dante! *Rai-mu macam ketek! Asem!"
'

*wajah'


Sudah tidak bisa ditahan, dengan segera gadis bernama Dante itu mengambil sendal dan melemparkannya. Pagi-pagi, Dante sudah dibuat naik darah dengan kedatangan teman-temannya.

"Berhenti enggak kalian semua?"

Teman-teman Dante semakin tertawa melihat Dante yang sedang marah. Entah mengapa, menggoda Dante adalah hobi bagi mereka semua. Marahnya Dante seolah bahagianya mereka.

"Aku bilang berhenti atau aku gak jadi ikut hiking!" teriak Dante.

Seketika, motor-motor yang digas tidak karuan itu menepi. Para pengendaranya mulai memarkirkan motornya di halaman luas rumah Dante. Tanpa bicara lagi Dante berbalik masuk ke teras rumahnya, disusul teman-temannya yang mulai mengeluarkan wajah khawatir.

"Dante, ikutlah, ya. Bercanda doang tadi," ucap Rere, teman satu fakultas Dante.

"Gara-gara Irpan, nih." Iki, sahabat Dante yang sering terkena omongan rasa seribu cabe dari mulut pedas Dante.

"Lah, aku? Yo, Nanda. Ide e sopo tadi?" jawab Irfan dengan cepat, lelaki usia dua puluh tahun ini adalah teman kuliah Dante. Namanya Irfan, tapi biasa dipanggil Irpan.

Sedang Nanda hanya mengangguk-angguk saja sekaligus menahan tawa. Entah mengapa, lelaki yang satu ini sifatnya begitu absurd dan tidak bisa ditebak.

Nemu di mana aku temen-temen yang kayak gini, keluh Dante dalam hati.

"Iya-iya ikut, masuk dulu. Mau berangkat pukul berapa kita?" Dante berucap sambil membuka pintu rumahnya.

Rumah Dante itu, definisi rumah klasik, tapi elegan. Setiap pojokan dinding, tiang, atau bahkan di tengah ruangan, ada ukiran-ukiran kayu yang membuat rumah itu terlihat sangat lekat dengan budaya dan ketrampilan.

Ruang tamu yang kini terlihat, terisi kursi empuk bermotif bunga batik dan bantalan coklat, serta meja kayu yang memanjang dengan lapisan kaca.

Setiap dinding dihiasi lukisan-lukisan tua serta meja-meja yang tertata dengan hiasan keterampilan kayu berbentuk motor, sepeda, dan jam. Ada pula piring, gelas, dan garpu indah zaman seribu sembilan ratusan yang dipajang. Juga vas-vas besar berisi bunga buatan yang menyegarkan.

Surat BotolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang