Prolog

9 1 0
                                    


November, sebentar lagi kita sampai dipenghujung tahun. Penghujung tahun yang akan banyak ditemani dengan rintik hujan. Aku suka hujan, walau kebanyakan orang berkata hujan pembawa atmosfer yang memberikan sensasi sedu. Namun bagiku; hujan pembawa tenang sendiri, saat aroma petrichornya mulai menelisik masuk dari indra penciumanku menuju hipotalamus, kemudian diolah dan mengubahnya menjadi hormon suasana hati yang kian meningkat, nyaman, dan menenangkan sekali.

Dari kesukaanku terhadap hujan ada satu hal yang tak aku sukai, ya, hujan sangat menyita waktuku dari dia. Musabab, waktuku bersamanya saat menikmati sore mengelilingi kota dengan menaiki sepeda semakin berkurang. Ah sial, padahal sore ini kami berjanji akan bersepeda menuju puncak dikota ini. Benar kota ini, aku tinggal dikota kecil di ujung Sumatera; lebih tepatnya Sumatera Utara, Kota Padangsidimpuan. Kalian tahu? kota ini sangat kecil, masih banyak bukit dan gunung yang mengelilinginya, udaranya masih sangat bersih dan asri, serta masih banyak bangunan tua peninggalan masa penjajah berdiri kokoh,namun semakin kesini kota ini semakin banyak mengalami kemajuan dalam pembangunannya.

Lagi dan lagi aku mengumpat akan hujan hari ini.
"Dasar SAWI, LOBAK, KOL, kenapa hari ini cuaca tak memihak" ucapku dengan kasar. Aku lebih memilih mengumpat dengan nama sayuran yang tak kusukai hahah lebih sopan bukan.

Aku masih memperhatikan hujan dari balik jendela kamarku, aku memperhatikannya dengan sangat, semoga hujan dapat mengerti. Sialan, aku mulai lelah menunggu hujan reda, kubaringkan tubuhku disofa dekat jendela berharap hujan segera berpamitan untuk pulang.

Drrrtt. . . drrtt . . . drrtt . . . dering telpon membuyarkan mimpi indah saat bersepeda dengan dia. Aku melirik jam di atas meja, pukul 19.15. Aku tertidur hampir 3 jam, dan hujan ? oh dia sudah pergi dan tak pamit, dasar.
Aku mengambil ponsel yang dari tadi berdering, 5 panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk.
"Ayok ..." ucapnya.
"Kemana? Ini kan sudah malam."
"Bertemu dengan langit dan menyapa bintang-bintang, kamu suka kan?"
"Tentu saja, jemput yah."
"Nih udah di depan."

Aku hanya melongo membaca pesan masuk darinya, segera ku bergegas berganti pakaian dan berpamitan sama bunda. Sesampainya di depan, benar saja ia dengan antengnya duduk di atas motor legendnya itu.
"Ini ganti yang tadi sore yah" serunya melawan dinginnya malam.
"HA... apa gak dengar, anginnya kencang" teriak ku. Angin sisa hujan hari ini, berhasil menjadi pemeran utama malam ini.
"Aku tau seharian ini kamu kesal, karena sepedaannya batal, dan malam ini ganti waktu kamu yang terbuang sia-sia tadi" ucapnya seraya melawan deru angin yang menerpa. Aku hanya mengiyakan dan senyum-senyum sendiri dibalik pundaknya.

Dari cerita panjangku ini kita belum sempat berkenalan yah, oh iya kenalkan aku Deana Medina, aku wanita berumur 21 tahun dan Alhamdulillah masih seorang gadis heheh . . .

Ada yang penasaran dengan dia, tidak? Dia itu tipikal orangnya santai, amburadul, gak neko-neko, eh tapi, kalau udah urusan kemanusiaan dan ketuhanan doi gak tanggung-tanggung dalam melakoninya. Namanya Ray, Ray Revonza Prasetya lumayan panjang sih.

Aku mengenalnya sejak 3 tahun silam saat pertama kali digabungkan diproject kampus. Saat itu, aku belum mengenal yang namanya Ray, kami hanya berkumpul di Aula kampus untuk membicarakan project ini yaitu project yang mengadakan festival sepeda hias untuk menyambut hari Kemerdekaan. Kami dibagi dalam beberapa kelompok, dan aku berada dalam satu kelompok dengan dia.
"Sini aku bantuin" ucap seseorang saat melihatku menaiki tangga untuk memasang spanduk.
"Oh oke, makasih." Dia hanya tersenyum
Hening, tak ada sepatah katapun terlontar dari mulutnya, begitu pun aku.
"Ray, kemari, aku butuh bantuanmu" ketua kelompok kami memanggil.
"Oke bro, segera meluncur" sahutnya. Ooo.. jadi itu namanya Ray, batinku.

Hari ini panjang dan melelahkan, namun sangat berkesan. Waktunya untuk bergelut dengan sang malam, dan menjumpai pagi esok dengan bersemangat. Jiwa hampir saja memasuki alam mimpi, seketika saja dering telpon menghalanginya, tanda adanya pesan masuk.
"Hai, titik dua buka kurung" begitu isi pesannya.
"Wa'alaikumsalam Ray..."
"Eh sorry, Assalamu'alaikum Deana, kamu tau ini aku, darimana?" balasnya.
"Kan profilnya foto kamu Ray."
"Heheh... iya juga yah."

Malam ini, benar-benar membawaku pada waktu yang menjadi awal kita sedekat ini. Bersama angin yang perlahan kian melembut, menjadikan suasana menjadi sangat indah. Perihal langit dan hamparan bintangnya, itu hanya sebagai pemanis saja. Aku menikmati setiap waktu saat bersamanya, musabab waktu yang dimilikinya sudah tak sepenuhnya lagi untukku. Tentu saja, ikatan di antara kita hanya sebatas sahabat dan aku membatasi diri untuk tidak berharap lebih.

Saat ini, dia sedang mendekati gadis yang sangat di idamkannya. Ia bisa menjadi sangat bersemangat jika sudah bersangkut paut dengan gadis itu, walau dalam hal apapun. Perihal rasaku? ah jangan hiraukan. Ia begitu paham bagaimana perasaanku terhadapnya, ia tak melarang pun tak menghentikan, "kita tidak pernah tau akan bagaimana perjalanan kita esok lusa" begitu katanya.

***
"Kamu janji, apapun yang akan terjadi dikemudian hari, kamu akan tetap menjadi seorang yang berharga untukku, begitupun aku " ucapnya disuatu sore.

Hening sesaat.
"Tentu saja, karena sahabat gak akan mengingkari janji."
Sore ini, kami bertaut janji untuk tetap bersama dalam hal apapun yang akan terjadinantinya. Kami kembali mengayunkan sepeda untuk menikmati hari dan tentunya waktu yang kian menyempit. Tertawa, cepat-cepatan sampai tujuan, ngobrol, tertawa lagi; banyak hal yang pasti akan aku rindukan dari kita. Tujuan kita hari ini tempat favorit kita, puncak Martabe. Jalan menuju puncak melalui jalan setapak kecil, disekitarnya berhamparkan padi yang mulai menguning, gemericik air sungai penambah romantis sore ini.

Pukul 17.40 tiba dipuncak, sebentar lagi sang mentari akan menuju peraduannya, goresan jingganya mulai menggurat dengan elok.
Hari ini aku berjanji kepadanya, akan tetap menjadi sahabat yang selalu ada, didalam keadaan apapun. Namun, terlewat dari janjiku kepadanya, pun ada janji yang tertaut pada semesta. "Semesta, biarkan tubuhmu menelan seluruh janji yang aku ucapkan hari ini, dan aku biarkan dirimu memerankannya; kamu mengertikan semesta? terlebih sangat mengerti hatiku bukan?" batinku menyentuh semesta.

"Apa yang kamu suka dari sepeda?" ujarku membuka pembicaraan.
"Aku menyukainya karena hobi dan dari bersepeda aku mendapatkan banyak prestasi, mungkin itu."
"Mungkin? ada keraguan dalam dirimu."
"Lalu, bagaimana dengan kamu Dee, apa yang membuatmu begitu menyukai sepeda?"
"Hobi, Prestasi, ya itu hanya bonus untukku. Aku menyukai sepeda karena banyak pelajaran yang dapat diambil dari sepeda."
"Misalnya ?"
"Kehidupan ini di ibaratkan seperti sepeda, rodanya tidak akan berputar sebelum dikayuh, semakin kita giat untuk mengayuh, semakin dekat kita dengan tujuan. Untuk menjaga keseimbangan kita harus tetap mengayuh. Namun, adakalanya kita sejenak berhenti, merehat, memulihkan tenaga dan menyiapkan strategi untuk mendapatkan perjalanan yang terbaik. Seperti perjalanan kita hari ini, kita menikmatinya, melewati banyak rintangan dengan hati yang damai, hingga kita tiba diatas ini."

"Eh sorry, berlebihan."
"Aku menikmatinya Dee, lumayan kan dapat kultum diujung senja hari ini."
"Udah sih, malu. Kita pulang yuk, bentar lagi adzan nih."

***
Kita adalah dua insan manusia, yang tak bisa menjelaskan ikatan diantara kita ini sebenarnya apa? Teman, saudara, sahabat ataukah kekasih? Entah apapun itu, sejauh ini kita telah bertemu dan saling bertukar cerita bahkan telah banyak cerita yang sudah kita tamatkan.

Seperti malam kemarin kita sedang berdiskusi banyak hal; salah satunya, kita sedang mendiskusikan bagaimana bisa rasa manis dari teh dihadapanku bisa semanis senyuman yang aku miliki 'itu katamu. Atau bercerita tentang secangkir kopi hitam yang telah kau teguk pahitnya. "diberi sedikit gula, rasanya akan terasa pas" timpalmu lagi.

Sesederhana ini rindu yang akan menyelimutiku nantinya. Tuhan tidak bercanda mempertemukan kita, ada rindu, cemburu, tawa, airmata. Semua hal itu menguatkan kita. Kita tak harus bersama, jika memang bukan jalannya.

Deeana dan RayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang