Tak inginku mematri harap yang mati, menanti asa yang tak bertepi. Sendiri...mematung diri, hingga syairku melantun sampai ke Arsyi. Entah apa namanya, yang kusadari kini hadirmu sudah menjadi canduku.
🌺🌺🌺
Suhu pagi yang masih berkabut, menyisakan embun yang malas menguap dari peraduannya. Berkas sinar mentari masih malu mengintip melalui celah dedaunan, dihamburkannya sinar itu oleh partikel koloid yang kemudian disebutnya sebagai efek Tyndall. Pun dengan secercah sinar yang kini menyoroti wajahku melalui celah jendela yang tidak ku tutup sempurna semalam.
Aku menggeliat, merenggangkan otot-otot agar terasa lebih nyaman. Dengan malas ku sambar handuk krem yang menggantung di belakang pintu lalu berjalan gontai menuju kamar mandi sambil sesekali menguap. Rasanya malas sekali untuk beranjak dari mimpi, terlebih hawa melow begini mendukung untuk bermalas-malasan. Langkahku terhenti saat ekor mata menangkap wujud jaket tosca yang meringkuk di kursi belajar, hal itu berhasil menarik sudut bibir membentuk sebuah senyuman. Oh ya, namanya siapa? Sudah dua kali bertemu dengannya namun belum juga berkenalan. Saking aku terpesona, hingga lupa bertanya nama.
🌺🌺🌺
“Baiklah, Anak-anak. Mungkin itu saja penjelasan kali ini. Ada pertanyaan?” tanya bu Tini, guru kimia.
“Tidak ada, Bu,” serempak kami.
“Berarti sudah jelas ya materi yang Ibu sampaikan tadi.” Bu Tini sekilas melirik jam tangannya.
“Masih ada waktu sepuluh menit lagi. Kalo tidak ada pertanyaan, biar Ibu yang bertanya.”
Nah, kalau guru sudah mengikrarkan kalimat ajaib seperti itu, kami semua pura-pura sibuk membaca buku, menulis, atau apalah, yang jelas menghindari bersitatap dengan sang guru. Tapi walau bagaimanapun, guru tau mana yang berpura-pura atau tidak.
“Doni!” panggil bu Tina. Teman-teman yang lain selain Doni nampak menghembuskan nafas lega.
“Apa pengertian Termokimia?” tanya bu Tina sambil berjalan mengitari kelas sambil mengawasi siswa yang lainnya. Doni yang ditanya hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sesekali ia melirik buku paket di depannya untuk mencari jawaban.
“Te-termokimia adalah ilmu tentang peb-perubahan kolor suatu-“
“Hahahahaha.”
“Woooo.”
Sontak saja jawabannya mengundang tawa kami semua. Apa katanya? Kolor? Pasti maksudnya kalor atau dengan kata lain panas. Mungkin karena grogi atau salah baca, jadi lidahnya keseleo saat berucap. Ada-ada saja.
“Kamu kenapa? Sakit?” Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Cindy menyadari yang sedikit tak minat menyimak pelajaran.
“Sedikit ga enak badan.”
“Kenapa ga ijin aja? Istirahat di rumah”
“Males ah, di rumah boring. Kalo di sini aku masih bisa becanda sama kalian.”
Teeeeet
Bel berbunyi sekali, tanda jam pelajaran berganti. Di ujung pintu sana sudah berdiri pak Alex dengan beberapa buku, spidol, dan penggaris kayu. Perawakannya tidak terlalu tinggi, gemuk, berkumis tebal, dan warna kulit sawo matang. Ia terkenal dengan julukan guru killer, perintahnya tidak bisa diganggu gugat dan ia tidak suka berbasa-basi. Dengan langkah tegap, ia melangkah masuk setelah bu Tini berpamitan. Diletakkannya barang-barang yang dibawa tadi di atas meja guru yang terletak di depan kelas, menggeser sedikit vas bunga bertahtakan Helianthus annuus berbahan plastik, kemudian duduk di kursi. Hening. Tidak ada yang berbicara sampai ia membuka suara.
“Selamat pagi, Anak-anak.”
“Selamat pagi, Pak.”
“Kumpulkan tugas fisika yang Bapak berikan kemarin!”
Tuh, kan! Tidak ada basa-basi, langsung aja disuruh kumpulkan tugas. Suara gesekan buku-tas memenuhi ruangan. Pak Alex berkeliling kelas sambil membawa penggaris kayu yang berada di tangan kanan, lalu di hentak-hentakkan ke tangan kiri, persis seperti polisi yang siap menangkap penjahat. Ku keluarkan buku paket dan LKS fisika, buku catatan dan buku tugas. Buku tugas? Astaga! Dimana buku tugasku? Aku yakin kemarin sudah menyelesaikan semuanya di perpustakaan. Apa jangan-jangan bukunya tertinggal di sana? Bagaimana ini? Aku gelisah tidak karuan sembari membolak-balikkan tas dan mengintip laci meja, berharap buku tugas memperlihatkan wujudnya.
“Kamu kenapa?” bisik Cindy.
“Buku tugasku ga ada, Cin. Aku yakin kemarin sudah mengerjakannya semua.”
“Mungkin ketinggalan di rumah, coba kamu inget-inget.”
“Kemaren aku ngerjaennya di per-”
“Queen! Kenapa kamu berbisik-bisik? Mana buku tugasmu?” suara pak Alex yang menggelegar mengangetkan kami.
“Ke- ketinggalan, Pak.”
“Ketinggalan atau kamu tidak mengerjakan?”
“Saya sudah menyelesaikan semuanya kok, Pak. Tapi bukunya lupa dibawa.”
“Tidak ada tapi-tapian. Keliling lapangan sepuluh kali!”
Tuh, kan. Aku dihukum. Kenapa juga buku tugas itu menghilang di waktu yang salah? Padahal aku termasuk murid yang rajin dan pintar, baru kali kali ini dihukum karena dianggap tidak menyelesaikan tugas. Sial! Tapi ya sudahlah, bernegosiasipun percuma, pak Alex tidak menerima alasan apapun.
Dengan gontai aku melangkah menuju lapangan diiringi tatapan sendu dari Cindy dan Yasmin. Ku mulai saja hukuman ini agar cepat berakhir. Berlari disaat sinar mentari mulai meninggi. Semoga saja aku sanggup.
Kalau tidak salah hitung, mungkin baru tiga kali putaran berlari, nafasku sudah ngos-ngosan. Kupastikan wajahku pucat, karena oksigen kurang mengalir ke otak. Lututku mulai lemas, aku berlutut tertunduk dengan kedua tangan menyentuh tanah. Ku atur nafas dan mencoba untuk berdiri. Tapi pandanganku mulai kabur saat seorang cowok berlari ke arahku. Tak jelas kulihat wajahnya, namun aku merasa ia menangkap tubuhku saat penglihatanku mulai gelap.
“Queeeeen!”