Bab 01 - dies faustus

4 1 0
                                    


❛Sampai ketika hujan reda dan pelangi mungkin saja melengkung di suatu tempat yang tidak aku ketahui❜

◇◇◇


Jurnal Azelitha Lathi







xx Agustus, Bogor - Aku senang. Benar-benar senang! Aku mendapat buku diary yang bagus sekali sebagai hadiah. Bukunya ber-cover tebal dan tiap helai kertasnya berwarna coklat pudar yang cantik. Aku juga senang zuppa zuppa soup-ku dimakan dengan lahap. Karenanya aku memutuskan hari ini atau mulai sekarang untuk menulis jurnal. Ah, tapi apakah awal tulisanku malah seperti diary pada umumnya? Biar aku ceritakan dari awal!

Hujan di senin pagi bagiku adalah keberuntungan. Dan itu benar! Sebelum berangkat sekolah, Bu Yuli bilang pendonor utama panti akan berkunjung. Kami bersebelas kegirangan.

"Bakal ada hadiah lagi gak ya? Maya mau kereta yang kaya Kak Erick!" Ucap Maya dengan polos. Mulutnya penuh dengan nasi goreng. Aku duduk bersebelahan dengan Maya, sibuk membersihkan mulut Maya dan nasi yang berceceran di sebelah piringnya.

Aku lirik Dani, biasanya dia mengomel tentang nasi goreng Umi yang kurang garam. Kali ini Dani lebih kalem, berbading terbalik dengan Tifa yang ... ah, sudahlah.

"Aku juga! Aku juga!" Ifan menaiki kursi dan meloncat-loncat.

Bu Yuli segera bertindak, mengangkat Ifan dan mendudukannya perlahan "Fan, makannya sambil duduk. Tifa juga, jangan muter-muter disana. Makan jangan sambil ngobrol." Cecar Bu Yuli galak seperti biasanya. Ifan menanggapi dengan cemberut, sementara Tifa―iya, sedari tadi dia menari-nari menirukan balerina dan bersenandung di ambang pintu dapur―menurut tanpa protes. Karena peringatan Bu Yuli, akhirnya kami bersebelas tenang di meja makan. Tentu dengan hati berbunga-bunga.

Datangnya pendonor merupakan kabar bahagia bagi anak panti macam kami. Terlebih lagi jika pendonor utama. Yang kata Ibu Panti keluarga mereka telah menyumbang sejak panti ini didirikan.
Biasanya para pendonor itu akan membawakan berbagai macam hadiah. Hadiah yang banyak! Termasuk makanan yang enak juga.

Masing-masing dari kami biasanya minimal mendapat dua hadiah. Yang selalu ditunggu anak-anak pastilah mainan. Dua bulan kemarin Erick mendapat kereta api mainan satu set dengan miniatur relnya. Telingaku sampai sakit dengan jeritan Maya dan Ifan yang rebutan meminjam kereta Erick. Umi mengambil jalan pintas dengan membawa dua kereta mainan lain. Entah Umi beli baru atau mengambil mainan bekas di rumahnya. Yang jelas si bungsu Yehan ikut-ikutan jadi penonton setia dan bertepuk tangan setiap kali kereta tubrukan.  

Aku segera bertanya pada Umi saat sudah menghabiskan nasi gorengku "Apa mungkin ada buku cerita lagi?"

Sejujurnya, aku sangat menantikan itu. Aku selalu memburu buku apapun itu selama bisa aku baca. Seperti novel ataupun buku dongeng. Tapi jika dapat buku non-fiksi pun aku tidak keberatan untuk menerimanya. Buku adalah barang mahal untukku. Bulan kemarin juga aku mendapat buku resep makanan. Dan mempraktekkannya beberapa kali dengan Bu Yuli dan Umi di dapur.

Umi menjawab pertanyaanku dengan suaranya yang lembut di waktu pagi itu "Kita lihat nanti saja ya, kalau tidak ada jangan sedih. Nanti Umi carikan buku untuk Jelly, ya?" Umi tampak sedang menyuapi Yehan dengan bubur kacang kesukaan balita 3 tahun itu. Aku hanya mengiyakan. Dan pagi sebelum aku berangkat sekolah, berlalu dengan baik. Sampai ketika hujan reda dan pelangi mungkin saja melengkung di suatu tempat yang tidak aku ketahui.

(aku ingin melewatkan bagianku saat di sekolah. Karena tak sabar ingin menceritakan bagian serunya!)

Sampai ketika aku pulang sekolah, beberapa mobil hitam mengkilap itu terparkir di depan Panti 'Maryam'―tempat aku dibesarkan―yang halamannya selebar setengah lapangan voli pada umumnya. Aku yakin yang parkir adalah orang profesional. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Rise of Juggernaut : Jurnal Azelitha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang