Malam yang Panjang

145 22 0
                                    

Kado seperti apa yang cocok buat aku beri pada seseorang bernama Hyuuga Hinata?

Gadis itu sepertinya punya segalanya.

Dia kaya.

Dia cantik.

Dia pintar.

Sempurna. Iya kan? Dia sangat sempurna sampai-sampai buat aku harus bolak-balik mengitari rak dengan perasaan dongkol.

"Ini nggak cocok buat dia."

Boneka aneh yang hampir persis boneka chucky kukembalikan ke rak karena aku seratus persen yakin setelah memberikan hadiah ini padanya, yang ada malah langsung dibuang karena dia terlampau takut buat dipajang di kamar.

"Ini sih pasti dia udah punya."

Sebuah syal berwarna pastel.

"Nggak. Nggak. Jangan ini."

Kalung dengan inisial H.

Dua jam berlalu tanpa mendapatkan apa-apa setelah keluar dari gift shop.

Aku mendaratkan bokong dengan keras ke kursi kayu yang ada dipinggiran jalan. Duduk diam dengan kepala menengadah melihat langit. Kemudian menghela napas panjang.

Konyol, gumamku kesal.

Disaat seharusnya aku bisa menghabiskan waktu dengan pulang bersamanya, aku malah berbohong sedang ada janji bersama seseorang dan pergi meninggalkannya pulang sendirian. Kalau tahu akhirannya seperti ini, lebih baik kuhabiskan waktu untuk berduaan bersama Hinata daripada menghabiskan waktu untuk mencari kado untuknya.

Lagi pula, dia nggak menginginkan kado dariku.

Ngapain juga aku harus susah-susah mencari?

"Haaah, udahlah."

Aku bangkit dengan lunglai, terus menghela napas di setiap pijakan kakiku pada jalanan sepi.

Hari ini aku konyol sekali.

•••

Sudah pulang?"

"Udah. Aku baru aja selesai mandi."

Ada panggilan tak terjawab dari Hinata ketika aku sedang menghabiskan waktu setengah jamku dengan berada di kamar mandi.

Aku duduk di pinggiran kasur sembari mengeringkan rambut dengan sebelah tanganku yang memegang handuk.

"Ada apa?" tanyaku lagi, karena sedaritadi nggak ada balasan apa pun darinya.

Ada dehaman canggung di seberang sana yang membuatku menautkan kedua alis, bingung.

"Nggak apa-apa, aku cuma tanya aja." balasnya.

Aku tanpa sadar mengangguk-angguk. "Baiklah."

Lalu, ada keheningan yang lama menyelimuti kita berdua.

Saking lamanya, aku sampai menjauhkan telepon untuk mengecek apakah masih tersambung atau nggak, tapi ini masih tersambung kok. Aku curiga dengan jaringan di rumahku yang jelek, tapi sepertinya bukan itu.

Hinata memang sengaja memilih diam di seberang sana.

"Mau sampai kapan diam seperti ini?"

Aku memilih merebahkan diri di kasur dengan telepon yang masih kudekatkan pada telinga. Menunggu balasan darinya yang nggak kunjung datang juga.

"Naruto ...."

"Ya?"

Hening lagi.

"Jangan bilang kamu lagi overthinking sekarang?" tanyaku asal-asalan.

Karena sekarang sudah hampir tengah malam dan aneh mendapati Hinata yang menelepon dijam segini dengan alasan yang kurang jelas. Itu membuatku berpikir yang nggak-nggak.

"Apa ada masalah saat pulang sendirian tadi?"

"Ah, nggak kok, enggak. Hahahha, aku pulang dengan selamat tadi."

"Terus?"

Diam lagi.

"Hinata..." kataku mulai geram.

Ada kekehan jahil di seberang sana. "Bisa temani aku sampai besok?"

"Kenapa memangnya?"

"Aku gugup," balasnya. "Besok aku bakalan ketemu sama seseorang yang dikenalkan oleh Ayah. Eh, kamu tahu nggak kalau besok juga aku harus bolos sekolah? Apa-apaan sih, aku benci ketinggalan pelajaran. Dan kamu harus tahu juga kalau acara ulangtahun aku cuma bisa dihadiri sama orang-orang terdekat."

Perkataan beruntun itu masuk ke telingaku dengan baik, membuatku bangun dan kembali duduk di pinggiran kasur sambil menggaruk kepalaku yang mulai kering.

Jadi ini yang ada dipikirannya sampai-sampai ada banyak jeda kosong dipembicaraan kita sebelumnya.

"Hei, kok malah diam sih? Aku sudah bicara panjang lebar loh."

"Ah, iya, iya. Aku tadi bingung kenapa kamu bicaranya sambil ngerep kayak gitu." Aku akhiri ucapan itu dengan tawa.

"Ih, apa-apaan sih kamu!"

"Tapi Hinata," aku menyela ucapanku, membuat seseorang di seberang sana terus mengomel tanpa kupedulikan. Kulihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam tepat. Sekarang sudah pergantian tanggal dan hari ini adalah ulangtahunnya. "Selamat ulang tahun."

Jeda yang cukup lama.

"Hahahhah, iya, iya, terimakasih."

Aku diam-diam tersenyum.

Dan tiba-tiba aku kepikiran ini, aku nggak tahu apa ini harus kubicarakan juga atau nggan. Tapi aku memang nggak bisa apa-apa selain berterus terang. "Aku nggak memberimu kado nggak apa kan? Kamu punya segalanya sampai membuatku bingung." Kuakhiri lagi dengan tawaan canggung yang aneh.

"Tidak apa-apa, cukup ucapan dan temani aku sampai dini hari nanti itu sudah cukup menjadi kado."

"Syukurlah, aku senang mendengarnya."

Hari itu, waktu terus berjalan dengan aku yang mendengarkan ocehannya tentang Ayahnya yang akan memperkenal dia dengan seseorang, kemudian berangsur pada kekesalannya yang lain.

Aku nggak tahu akan sampai kapan mendengar suaranya ini. Entah sampai jam dua belas yang berganti menjadi satu, kemudian berganti menjadi dua, lalu tiga, dan bisa saja sampai nanti pagi saat waktunya matahari terbit.

Cukup mendengarkannya seperti ini bisa membuatku senang sampai melupakan satu fakta bahwa ada sesuatu yang teriris di dalam sini.

"Hinata."

"Hm?"

"Apa kamu bakalan setuju dengan perjodohanmu nanti? Kalau cowok yang dikenalkan Ayah adalah tipemu. Kamu mau nerima dia?"

Kuharap Hinata akan berpikir lama sampai membuatku bisa menghela napas lega atau setidaknya dia langsung membalas dengan tolakan.

Namun semua dugaanku salah.

"Iya. Kalau dia tipeku, ya tentu aku mau. Hehe."

•••


vote nya dong 🖤

When You Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang