Symphonie of The Dawn

89 13 15
                                    

Minato, Tokyo Prefecture.

Bulan Juni, Tsuyu atau musim hujan tandanya telah tiba. Gemercik air yang menetes di pekarangan rumah, aroma tanah khas hujan atau petrichor, semilir angin yang menyibak gorden jendela, serta air hujan yang turut masuk-semua itu menenangkan. Musik mengalun lembut dari pengeras suara di atas meja, ujung-ujung bukuku tersibak diterpa angin. Aku menghela napas, masa libur kuliah dimulai besok. Itu tandanya aku akan meninggalkan Minato dan pergi ke Shiga, menemui seseorang yang sudah lama tidak kujumpai.

Pintu terketuk pelan lalu terbuka, Hina-adik perempuanku menyembulkan kepala. Boneka babi berwarna merah muda tidak lupa berada di pelukannya. Aku melambaikan tangan, menyuruhnya masuk. Hina berlari kecil, lalu merangkak naik ke ranjang dan duduk di sebelahku.

"Nii-chan, apa kau akan pergi ke rumah Kei-nii?

Aku mengangguk, menoleh ke arahnya. "Un*! Ada apa?"

"Aku merindukannya." Hina memeluk boneka babi itu semakin erat.

Aku mengusai lembut rambut kecokelatannya. "Kei-nii pasti juga merindukanmu. Kau adalah malaikat kecilnya."

"Benarkah?" Hina mendongak, mata bulatnya antusias.

Aku mengangguk, mengundangnya untuk mengangkat boneka dan mulai berbicara sendiri soal topik yang baru saja aku bicarakan. Rencana awalnya ibu dan Hina ingin menemaniku ke Shiga, tetapi kondisi kesehatan adikku memburuk sehingga dia harus menjalani perawatan di rumah. Berakhirlah aku yang akan pergi sendiri ke rumah bibi di Maibara.

Aku merindukan tempat itu. Dan tentang segala kenangan yang pernah aku ciptakan di sana.

"Hina-chan," panggil ibu. "Waktunya tidur siang," lanjutnya.

Hina menoleh padaku, dia berdiri dan mengecup pipiku begitu saja. "Aku sayang Oni-chan**," ucapnya berbisik.

"Aku lebih menyayangimu, Hina."

Ibu tertawa pelan melihat interaksi kami. Hina melompat turun dari ranjang lalu memeluk kaki ibu, sebelum pergi dia melambaikan tangannya padaku, dan pintu tertutup. Aku kembali berteman dengan diri sendiri.

Aku meletakkan buku yang sedari tadi di pangkuan tanpa terbaca ke atas ranjang, melangkah menuju jendela. Air hujan menggelitik wajah begitu aku melongok ke luar. Hamparan langit kelabu dengan arakan awan yang lebih gelap masih akan menurunkan air hingga nanti malam-setidaknya itu yang dikatakan pembawa berita di televisi pagi ini.

Alunan lagu Pm 5.30 milik Dish// membuatku entah mengapa menoleh ke arah pengeras suara. Aku menyukai lagu tersebut, warna yang dikeluarkan dari nadanya membuat perasaanku selalu berubah aneh. Aku merasa bahagia, tetapi ingin menangis.

Semua itu telah berlalu tetapi rasanya masih sama menyesakkan.

▪︎▪︎▪︎

Maibara, Shiga Prefecture.

Hamparan ladang rumput yang mulai menguning menjadi pemandangan monoton untuk mataku. Tapi ini lebih baik daripada gedung-gedung tinggi di Tokyo yang warnanya menggambarkan kesedihan. Kejemuan yang terasa menyiksa, meski gedung-gedung itu tertutup papan iklan elektronik yang berganti tayangan setiap menit, tapi tetap saja. Di mata anak aneh sepertiku, itu semua hanyalah sebuah hiasan tak berguna.

Shiga Prefektur menyambutku dengan hamparan tumbuhan hijau dan berbagai macam bunga penuh warna. Di sisi kanan Gunung Ibuki menjadi latar pemandangan menakjubkan yang lain. Warna biru langit yang melebur dengan hijau lapangan rumput, ilalang yang daunnya tersapu angin Shinkansen, serta selimut salju di puncak Ibuki. Aku tidak pernah merasa tidak terpukau dengan segala sesuatu yang tersuguh di Shiga. Jika bisa dan diizinkan, aku lebih memilih untuk tinggal di tempat ini. Meski harus berdampingan dengan rasa itu, aku akan mencoba untuk berteman dengannya.

SYMPHONIE OF THE DAWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang