Fadiana Aninditha

67 3 0
                                    

Semua yang telah disusunnya hancur hari ini, hari yang sangat menyesakkan baginya, Fadiana Aninditha. Anak pertama dari 3 orang bersaudara, seorang anak perempuan yang selalu terlihat ceria setiap harinya merasa dunianya lenyap seketika. Mama yang selama ini menjadi sosok orang tua, dan merangkap menjadi sosok sahabat terbaik di hidupnya telah pergi membawah semua kebahagiannya, kebahagian adik-adiknya, dan kebahagian Papanya. Pipinya yang kala itu sering merona, basah tak ada henti. Tak ada usapan-usapan untuk menghapus airmatanya. Di biarkan air itu terus mengalir tanpa henti. Menandakan betapa hancur hatinya saat ini, menunjukan kepada semesta jika dia sedang tidak baik-baik saja, dunianya hancur.

Semua rencana yang dia bentuk beberapa bulan lalu, tak lagi ia fikirkan. Hari dimana seharusnya dia sudah berada di dalam pesawat yang harus membawanya ke tempat Masa Depan yang sudah ia idam-idamkan telah di lupakan nya.

Untuk berdiri melepaskan tangan yang sudah tak lagi membalas genggaman tangannya ini sangat sulit. Matanya menatap kosong Wanita yang telah terbaring kaku di hadapannya. Tak ada suara tangisan lain yang dia dengar selain penggalan-penggalan memori yang langsung terputar bersama sang Mama.

"Ma, 2 bulan lagi ada pendaftaran S2, Aku rencana ingin ikut tes itu Ma".

"Iya Dit, kamu harus rajin dan belajar lebih mandiri lagi".

"Mama, Papa Ditha lulus tesnya, bulan depan sudah Ditha musti berangkat ke Singapore untuk lanjut S2".

"Wah... Mama bangga. Kamu harus berangkat bulan depan. Mama dan Papa akan antar kamu kesana".

"Seharusnya hari ini Mama nganterin aku" kalimat itu lolos dari bibirnya yang sedari tadi membisu, suaranya bergetar. "Seharusnya kita sudah di bandara Ma, bahkan sudah duduk di dalam pesawat".

Semua orang bergantian mengelus punggung Ditha. 'kuat yah nak' , 'jangan bersedih mama sudah senang' , 'semangatmu jangan patah' , 'berdoa yah nak'.

Ucapan-ucapan itu terus saja didengarnya setiap semua orang datang melayat. Ditha ingin kuat, Ditha ingin menerima semua ini Mamanya sudah tak lagi merasakan sakit mamanya lebih bahagia lagi. Namun, itu tidak mudah baginya.  Satu sayap miliknya pergi, ditambah lagi dia seorang anak pertama yang musti terlihat kuat bagi kedua adiknya. Ditha tidak bisa mengganti posisi Mama untuk kedua adiknya. Ditha tak sesempurna Mama.

Ditha mengalihkan pandangannya keseluruh ruang rumahnya, ada yang duduk sesegukan, ada yang sedang sibuk membangun tenda, beberapa mondar-mandir menyambut tamu dengan segelas teh dan kopi. Ditha dapat melihat beberapa temannya juga duduk berkumpul di ujung sana. Beberapa dianatarnya yang Ditha ingat seharusnya telah berangkat di penerbangan yang sama dengannya.

Disampingnya kedua adiknya duduk dengan tatapan kosong sama seperti yang dia rasakan. Bahkan Ditha dapat menebak apa saja yang ada di pikiran mereka. Pikiran yang tentu sama dengan dirinya, bagaimana cara selanjutnya mereka melanjutkan hidup mereka.

Air matanya yang tadi mengering kembali berair. Ditha memegang dadanya, menutup matanya. Sesak itu muncul kembali. Ditha ikhlas namun, tak bisa menahan sakit kehilangan.

"Ditha sayang sama sama. Ditha sayang sama mama. Ditha..... say...ang sam...a ma...ma". Tangan Ditha makin menekan kuat dadanya sambil menatap mamanya. "Bantu Ditha jadi versi terbaik Ditha setelah kepergian Mama" lirihnya sendu.

------

"Papa... Ditha mau pergi liburan" Ujar Ditha memohon kepada sang papa agar kali ini dia di ijinkan pergi bersama teman-temannya.

Tatapan Yang BerujungWhere stories live. Discover now