1

43 3 2
                                    

Banyak orang yang mengatakan, kalau kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan dengan bekerja keras dan berdoa.

Jika ada yang berpegang teguh dengan prinsip seperti itu, aku tidak akan menentangnya. Lagipula, aku tidak punya hak untuk mengubah prinsip orang lain.

Hanya saja, aku tidak yakin hal itu akan berjalan lancar. Tanpa bermaksud meremehkan kekuatan doa, kerja keras tanpa bakat sejak lahir sangatlah menyulitkan.

Itulah yang kujelaskan pada orang di depanku ini, Muhammad Rasyid, di ruang kelas X-II MIPA yang diterangi oleh cahaya matahari yang hampir terbenam.

Lalu, tanpa meluruhkan senyumnya, ia berkata, "Hoo, benarkah itu Ren? Bukankah kau mengatakannya karena bekerja keras itu melelahkan ?"

𝘋𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘵𝘶𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘣𝘢𝘬 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨!

"Ya, tidak salah juga apa yang kau katakan. Sejujurnya, aku bukanlah tipe pekerja keras. Itu agak merepotkan dan menghabiskan energi.", jawabku.

"Ya, mungkin kau benar juga. Tapi, jangan menyesal dengan apa yang kau katakan tadi. Aku tidak ingin mengkritisi gaya hidupmu, hanya saja jika kau ingin sukses di masa depan nanti, bekerja keraslah mulai dari sekarang."

Seperti biasa, ia mengatakan hal-hal yang tidak dapat kubantah.

Sekali lagi, namanya Muhammad Rasyid. Penampilannya bisa dibilang agak mencolok jika dibandingkan dengan siswa di sekolah ini. Tingginya mungkin hanya 162 atau 163 cm. Rambutnya berwarna coklat, selaras dengan warna ransel yang berada di punggungnya. Dia sama sepertiku, alumni SMP Arafuji.

"Aku bukannya tidak melakukan kerja keras. Buktinya aku belajar mati-matian untuk masuk sekolah ini lho.", ujarku.

"Aku mengerti, tenang saja. Oh ya, besok sudah mulai dibuka pendaftaran ekstrakurikuler, mau coba lihat ?"

"Entahlah, tapi kalau kau mengajak, aku tidak keberatan".

"Tumben kau punya keinginan untuk bergerak Ren. Mengapa kau tidak pulang saja?"

𝘞𝘢𝘩, 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩 𝘳𝘦𝘴𝘱𝘰𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘬𝘢𝘳𝘦𝘭𝘢.

Hari sudah semakin sore. Aku mengakhiri pembicaraan ini setelah melihat jam tanganku. Dengan cepat aku memasukkan bukuku ke dalam tas. Aku menuruni tangga dari lantai 3 menuju ke bawah, dan mengambil sepedaku di parkiran.

Omong-omong, jarak dari sekolah ke rumahku tidak terlalu jauh. Maka dari itu, aku hanya memakai sepeda. Lagipula, kalau bukan kita yang mengampanyekan gerakan hemat energi, siapa lagi kan ?

Rasyid mengikutiku dari belakang. Kemampuannya bersepeda tidak bisa diragukan. Ia pernah menjuarai 𝘙𝘰𝘢𝘥 𝘙𝘢𝘤𝘦 𝘊𝘺𝘤𝘭𝘪𝘯𝘨 antarpelajar SMP. Ia juga pernah menantangku balapan di sekitar komplek. Karena akan merepotkan jika nantinya ia terus memaksaku, aku memilih untuk mengiyakan kata-katanya.

Hasilnya sudah dapat ditebak. Karena aku melakukannya dengan setengah hati tentu saja dia yang akan menang.

Namun, sangat disayangkan prestasinya hanya sekali itu saja. Di kejuaraan berikutnya ia tergelincir dan mengalami ¹fraktura. Butuh waktu lama untuk pemulihannya. Ketika aku tanya apakah setelah pemulihan ia akan bersepeda lagi, ia menjawab tidak.

Mungkin dia trauma atau dilarang oleh orangtuanya. Bagiku, itu bukan keputusan yang buruk, coba pikirkan, mungkin kali ini pemulihannya berhasil, namun andaikan dia cedera lagi, akankah nasibnya sama seperti sekarang ?

Aku bukanlah orang yang hobi berolahraga, jadi aku tidak terlalu tahu dengan resikonya. Tapi, andaikan aku berada di posisi Rasyid, aku juga akan melakukan hal yang serupa. Memilih jalan yang aman.

***

Aku berpisah dengan Rasyid di sebuah persimpangan. Meskipun kami bertetangga, aku tidak tahu rumahnya dimana. Dia juga belum pernah mengunjungi rumahku. Sungguh tetangga yang menyedihkan.

Setelah bersepeda sekitar 1500 meter, akhirnya aku sampai di rumah. Kebetulan orang tuaku sedang bekerja ke luar kota, jadi aku sendiri di rumah. Sekali lagi, aku hanya sendiri!

Ya, hari ini cukup banyak menghabiskan energi. Bukan jam olahraga, tapi kesenian. Aku tidak bermasalah dalam bernyanyi, tapi aku buruk dalam menggambar, jadi aku harus sedikit berkeringat melakukannya. Ditambah obrolan dengan Rasyid yang harus memutar otakku.

Aku membuka pintu kamarku dan berbaring di sebuah kasur. Aku menyunggingkan sedikit senyum dan tertawa pahit saat mengingat kata-kata Rasyid tadi. "Sial !", gerutuku dalam hati.

Besok ,suasana akan dipenuhi keramaian dan penuh persaingan. Para ²𝘴𝘦𝘯𝘱𝘢𝘪 akan berlomba -lomba untuk mencari anggota baru, supaya mendapatkan anggaran dana lebih tinggi.

Sepertinya, aku harus menghabiskan beberapa energi untuk perekrutan anggota ekstrakurikuler esok hari...

Ctt :

¹Patah tulang
²Sebutan untuk kakak kelas dalam bahasa Jepang


Satu DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang