3

23 1 0
                                    

Cahaya bulan menyorot dari sela-sela awan tipis. Bintang-bintang berkelip dengan indahnya. Meskipun sekarang sudah malam, tapi suasananya tak jauh berbeda dengan siang hari. Bahkan di malam hari ini, beberapa lokasi dipenuhi oleh warga.

Beberapa unit kendaraan terparkir di depan rumah Pak Wisnu. Kalau tidak salah, ada syukuran karena Pak Wisnu baru saja pindah kemarin malam. Di markas karang taruna beda lagi. Beberapa orang berkumpul dan sedang membahas rencana kerja satu tahun kedepan. Karena ketika siang abang-abang ini pergi sekolah, mereka tidak punya pilihan selain melakukan rapatnya di malam hari.

Terlepas dari itu, tempat yang kutuju tidak seramai itu, Kedai Pak Mul. Begitulah orang-orang menyebutnya.

Aku menyapa Rasyid yang sudah duduk sedari tadi.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam"

Setelah mengambil kursi untuk duduk, aku bertanya kepada Rasyid.

"Jadi, ada apa ?"

"Tenang dulu. Mungkin kau bisa pesan bakso dulu. Kita bicarakan ini dengan santai saja.", jawab Rasyid.

"Terserah kau saja."

Aku juga tidak ingin terburu-buru sampai di rumah. Kebetulan tadi juga aku membawa dua lembar 50.000 Rupiah, ya mungkin aku bisa bertahan di sini sedikit lebih lama.

Rasyid memesan bakso kepada Pak Mul dan mulai berbicara kepadaku.

"Pemilihan ketua OSIS SMA Nakama dilaksanakan sebentar lagi. Ada 3 orang yang sudah mendaftar untuk calon ketua dan 124 orang sebagai anggota. Untuk ketua OSIS, mereka akan melakukan kampanye selama 4 minggu. Sedangkan untuk anggota, tidak ada kampanye, tapi ada sosialisasi dari pihak sekolah. Nantinya, hanya 40 orang terpilih yang berhak menjadi bagian dari OSIS. 2 orang sebagai ketua dan wakil dipilih dari pemilihan yang dilakukan di sekolah, dan 38 orang akan dipilih oleh para siswa secara online melalui website sekolah."

Sepertinya aku bisa menebak arah pembicaraan ini...

"Jadi, dari 124 orang yang mendaftar. Aku tergabung disana. Jangan lupa memilihku ya Ren."

𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘶𝘨𝘢𝘯𝘺𝘢.

"Aku tidak akan ikut mencalonkan diri. Tapi, kalau sekadar memilihmu ya tidak masalah bagiku."

"Walaupun kau pendiam dan malas beraktivitas, tidak sia-sia aku berteman denganmu. Terima kasih Ren."

𝘐𝘵𝘶 𝘱𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘺𝘢 ?

Aku mengacungkan ibu jariku dan tidak membalas perkataannya. Semoga saja dia bisa memenangkan pemilihnnya.

"Nah sampai juga baksonya.", ujar Rasyid.

Aku melihat ke belakangku. Disana ada Pak Mul yang membawa dua mangkok bakso berisi miso dan mi kuning. Di mangkok Rasyid bahkan terdapat telur rebus.

***

Kenyang. Satu kata yang tepat untuk mengilustrasikan kondisiku saat ini. Bakso yang tadi dipesankan Rasyid untukku telah sepenuhnya lenyap dari mangkok kaca bergambar ayam itu. Aku memberikan satu lembar 50.000 kepada Rasyid. Uangku terlalu besar sih.

"Terima kasih atas kedermawanannya. Kebetulan, aku sedang tidak bawa uang.", kata Rasyid kepadaku.

"Ya."

Padahal dia yang mengajakku ke sini, tak kusangka dia pula yang merampokku. Tapi, hitung-hitung sedekah bolehlah.

Ia pergi ke Pak Mul untuk membayar, lalu memberikan uang kembaliannya kepadaku.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan ?Aku yakin OSIS tadi... pasti bukan itu yang ingin kau katakan kepadaku. Tidak mungkin kalau aku datang ke sini untuk mendengar info tentang acara yang masa kampanyenya saja belum mulai."

"Wah nalurimu tajam juga ya."

Rasyid tersenyum kepadaku. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali.

"Ren, kau tahu kan tentang kasus yang menimpa Bang Yudha?  Tepat setelah kau keluar dari ruang klub, kami -anggota Ekskul Satra Jepang- mendapatkan kabar bahwa Bang Yudha terancam di 𝘥𝘳𝘰𝘱𝘰𝘶𝘵 dari sekolah. Tanpa bukti yang belum jelas, orang tua Bang Yudha akan diminta untuk datang dalam waktu 5 hari lagi. Aku tidak bisa menerima itu! Memangnya pihak sekolah tahu, Bagaimana caranya untuk tenang, kalau hidup dibawah tekanan !? "

Suasana menjadi tegang dan berat. Tatapanku terpaku pada mangkok kosong yang terletak di meja. Rasyid mulai tertunduk dan tidak berkata apa-apa. Dibawah sorot lampu, tidak ada suara yang terdengar. Hanya ada suara Pak Mul yang mengobrol melalui ponselnya.

Setelah tertunduk cukup lama, Rasyid pun mengambil air mineral di mesin pendingin dan minum untuk menenangkan dirinya.

Setelah kembali mengambil nafas panjang ia berkata,

"Ren, mungkin yang aku minta kepadamu saat ini bisa dibilang egois. Tapi, apakah kau mau menolong Bang Yudha? Aku, Dian dan kak Anin sudah pergi ke seluruh sudut sekolah untuk mencari sekurang-kurangnya barang bukti untuk menunjukkan Bang Yudha tidak bersalah. Tapi hasilnya nihil. Jadi, tolonglah Ren!"

"Aku mengerti maksudmu. Aku juga paham apa yang kau rasakan. Tapi, kenapa harus aku ? Memangnya dengan tambahan aku sebagai 'detektif' kasusnya akan lebih mudah ? Berpikirlah dengan realistis ! Waktu kita hanya 5 hari. Hari ini pun sudah terpakai, jadi hanya tinggal 4 hari. Aku juga tidak ingin meminta maaf jika seandainya aku tidak menemukan bukti.", ujarku.

Rasyid kembali menundukkan padangannya. Tangannya mengepal dengan kuat. Aku merasakan aura kemarahan bercampur kekecewaan darinya. Karena aku tidak ingin pertemanan kami menjadi renggang karena hal ini, akhirnya aku berkata,

"Syid, aku bukannya tidak ingin membantu. Tapi lihatlah keadaan saat ini. Pasti kau juga mengerti kan ? Insya Allah aku akan membantu. Aku mungkin tidak akan berkontribusi banyak, tapi aku harap dengan apa yang aku usahakan nantinya, akan membuat Bang Yudha terhindar dari 𝘥𝘳𝘰𝘱𝘰𝘶𝘵. Minimal, hukumannya bisa diringankan. Maaf sudah mengecewakanmu."

Rasyid mengangkat wajahnya yang tertunduk, dan kembali tersenyum kepadaku sembari berkata,

"Iya, aku mengerti. Kondisi kita memang sulit. Maaf juga karena telah memaksamu melakukan semua ini. Tidak mungkin aku bisa berdiam diri ketika sepupuku dalam masalah besar."

"Eh sepupu ?"

"Bang Yudha sepupuku.", jawab Rasyid.

𝘉𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘢𝘸𝘢𝘭 𝘥𝘰𝘯𝘨

Aku bergerak dari tempat dudukku dan membeli satu bakso lagi, untuk dibawa pulang. Setelah berterimakasih pada Pak Mul, aku keluar dari toko dan berjalan beriringan dengan Rasyid.

Setelah berpisah dengannya, aku berjalan sendirian hingga sampai di rumahku.

Aku berbaring di kasurku. Sesekali, aku menengadahkan wajahku ke langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu. Aku bersyukur karena hari yang melelahkan ini sudah berakhir.

Namun, didalam rasa syukur itu tersimpan rasa prihatin terhadap hal yang menimpa Bang Yudha. Jujur saja, aku hampir menangis saat mendengar apa yang Rasyid katakan tadi. Namun aku berusaha untuk tenang.

Demi meringankan hukuman Bang Yudha, mau tidak mau aku harus keluar dari zona hemat energi yang kurang sejak lama. Dimulai dari besok  ya... aku berdoa dan berharap, semoga 4 hari kedepan, bisa berjalan dengan lancar.

***

"𝖠𝗄𝗎 𝗍𝖺𝗄 𝖺𝗄𝖺𝗇 𝗆𝖾𝗇𝗒𝖾𝗌𝖺𝗅 𝗃𝗂𝗄𝖺 𝗇𝖺𝗇𝗍𝗂 𝗄𝖾𝗀𝖺𝗀𝖺𝗅𝖺𝗇 𝗆𝖾𝗇𝗂𝗆𝗉𝖺𝗄𝗎. 𝖳𝖺𝗉𝗂 𝖺𝗄𝗎 𝖺𝗄𝖺𝗇 𝖻𝖾𝗋𝗌𝗒𝗎𝗄𝗎𝗋, 𝗄𝖺𝗋𝖾𝗇𝖺 𝗌𝖾𝗍𝗂𝖽𝖺𝗄𝗇𝗒𝖺 𝖺𝗄𝗎 𝗌𝗎𝖽𝖺h 𝗉𝖾𝗋𝗇𝖺𝗁 𝗆𝖾𝗇𝖼𝗈𝖻𝖺."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Satu DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang