Part 2. Nelangsa

5 1 0
                                    

Satu tahun berada dibawah bayang – bayang prasangka, banyak sekali suudzonku tentang menghilangmu. Tentang apa itu kita seharusnya. Sedangkan kamu justru menganggap enteng semua ini. Dan bodohnya aku masih asik merengek seperti anak kecil yang kehilangan permen. Kamu itu sebenarnya tidak mengerti atau pura – pura lupa.

Rasanya masih seperti kemarin kamu menyampaikan kalimat penuh harapan padaku lewat room chat WA: “Rere, pasti bisa wujudkan semua mimpi Rere yang salah satunya bisa menerbitkan sebuah buku. Mas sudah tidak sabar membaca tulisanmu. Jadi menginspirasi untuk semua perempuan ya, Re. Oh, iya, kuliahnya segera diselesaikan, satu setengah tahun lagi, atau tiga semester lagi kan? Semangat terus ya… :) ”

Pesan terakhir sebelum kamu mengambil keputusan untuk, menutup segala akun yang berhubungan denganku seolah menghindariku, sebelum benang merah  yang ada berubah menjadi “bolah ruwet” dan sebelum pada akhirnya aku memutuskan jatuh cinta padamu. Kamu hilang, dan aku kehilangan.

Aku tidak bisa berbuat banyak, karena ketika itu, aku masih belum siap segala hal untuk menyambut kepergianmu.
Apakah perempuan hanya bisa selalu menunggu? Apakah perempuan hanya bisa memutuskan apakah lurus atau keriting rambutnya, seram atau damai marahnya, kasar atau baik lembut tutur katanya? Tidak bisakah seorang perempuan juga mengungkapkan? Tidak bisakah seorang perempuan juga meminta untuk tetap tinggal sebagian hatinya? Kurasa kisah cinta tentang Siti Nurbaya sudah usai, semua masuk pada jaman modern, kenyataannya, padamu, aku hanya mampu duduk diam, menunggu kepastian, dan merelakan kehilangan.

“Mbak Rere apakabar? Bunda sehat?”
“Mas! Jawab dulu pertanyaan Rere”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Re. Semuanya cukup dan selesai.”

Kamu kembali diam. Tatapan matamu kosong, perasaan menggebu yang biasa terpancar dari wajahmu sudah tidak ada. Tarikan nafas berat yang membaur lamunan, ritme pelan dan terartur, tanpa ampun menggelitik hidungku sampai ke tenggorokan; tanpa permisi membawa hujan yang terasa lama–berontak dan hadirkan pilu. Hampir dua tahun penuh aku secara mati – matian menunggu, dan menyelesaikan segala mimpiku. Sedang kamu dengan sangat entengnya berkata bahwa tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku menahan diriku sendiri, aku bersabar sedikit lagi, membujukmu untuk bercerita.

“Lalu, kenapa menghilang, mas?”
“Bagaimana mas harus mulai menjelaskan padamu, Re. Kamu terlalu keras kepala.”
“Rere hanya ingin, mendengar apa saja yang dilakukan mas selama hampir dua tahun tanpa kabar ini.” Tanyaku menggebu. Keras kepalaku, belum pernah kamu babat habis. Aku masih menang dalam hal ini, mas.
“Oke, oke, mas akan cerita tentang hampir dua tahun ini.”
“Hampir dua tahun ini, ada banyak sekali misi penyelamatan yang harus mas lakukan.”
Kamu mulai bercerita. Dan aku hanya diam tertegun. Menatap dan mendengarkanmu tanpa mau ada cerita yang terlewat.
“Misi penyelamatan ini berhubungan dengan segala mimpi mas, Re. Sudah pernah mas ceritakan padamu, tentang segala mimpi untuk tiga tahun kedepan.” Katamu sambil menatap manik mataku.
“Tapi ini baru dua tahun belum ada, mas”
“Kamu benar, Re. Kamu masih ingat tentang yang kamu katakan waktu lalu bahwa seharusnya mimpiku tidak mencegahku melanjutkan jalan dakwahku.”
“Masih ingat?”
Aku hanya mengangguk, menyetujui. Padahal belum sama sekali ada bayangan
“Ternyata, sang Khaliq mengabulkan permintaan mas, lebih cepat dari target tiga tahun itu, Re.”
“Maksudnya, mas?” tanyaku penasaran.
.
.
.
.
Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Di Ujung PandangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang