Bola hitam di tengah lautan putih yang berbinar. Kutangkap mata bapak. Kupeluk erat, seerat kasih sayangnya. Ia menggendongku sambil kakinya memainkan bola. Ia tendang.
"Ayo!" katanya sambil tertawa kecil. Aku ikut tertawa ketika tubuhku mengikuti goncangan kecil bapak yang menendang bola.
"Hahaha," suara tawa juga datang dari seorang laki-laki kecil. menyambut kedatangan bola.
"Ya, bagus! Gitu menendang yang benar. Diingat, ya!" Suara bapak terdengar khas.
Bapak bergerak menuju kursi panjang di halaman rumah yang tak terlalu besar. Mendudukkan aku di pangkuan hangatnya.
"Sini! Istirahat dulu!" Bapak menepuk-tepuk tempat di sebelahnya. Memberi perintah pada kakakku untuk duduk di sampingnya.
"Mas Alfi keren!" Aku memujinya sambil mengacungkan jempol.
"Bapak mau tanya, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?" tanya Bapak sambil mengelus-elus kepala Mas Alfi.
"Mau jadi pemain sepak bola, seperti bapak." Mas Alfi tersenyum manis memperlihatkan lesung pipit yang ada di pipi sebelah kanan.
Tentu saja aku nggak mau kalah. "Aku! Aku!" Aku menepuk-tepuk dada bapak. "Aku juga ingin jadi seperti bapak!"
"Yeeee!" Mas Alfi mendorongku pelan, sehingga aku sedikit terdorong ke belakang. "Pekerjaan bapak itu hanya dilakukan oleh laki-laki! Mana bisa perempuan!"
"Terserah aku dong! Aku bisa kok! Iya kan, Pak?" Aku menjulurkan lidah kecilku yang masih cadel ke arah kakak yang kusayang.
"Semua bisa asalkan ada usaha!" Bola mata hangat itu selalu menentramkan hati. Dari matanya saja, aku sudah dapat melihat kasih sayangnya.
"Al, nanti kalau sudah besar, kalau sudah jadi pemain sepak bola, jadilah pemain yang hebat, sportif, jujur, dan jadi pemain tim nasional Indonesia!"
"Tim nasional Indonesia itu apa? Tim sepak bolanya bapak?"
Kurasakan dada bapak berguncang seraya terdengar suara tawanya. "Bukan. Tim nasional Indonesia itu tim yang pemainnya adalah pemain-pemain sepak bola terbaik se-Indonesia. Lawannya lawan luar negeri. Jadi, nanti bisa ke luar negeri!"
"Wah! Aku mau jadi pemain Tim Nasional itu! Bapak, aku bisa! Naik pesawat!" ucapku girang.
"Bapak pengen banget jadi pemain Tim Nasional Indonesia, tapi bapak sudah tua. Sudah tidak mungkin lagi. Nah, kalau Al mau jadi pemain sepak bola, jadilah pemain terbaik!"
"Aku pemain terbaik! gempil (red: mudah) mah itu, Pak!"
Lagi-lagi aku ikut terguncang. Bapak tertawa lagi. Hal ini membuatku tersenyum. Tapi aku merasakan sesuatu yang aneh.
"Anak pinter!" Bapak mengelus kepala Mas Alfi.
Aku mendengus. Tentu saja aku iri. Dari tadi yang dielus-elus hanya Mas Alfi saja. "Bapak! Aku juga bisa menjadi pemain sepak bola terbaik sedunia! Mas Alfi pasti kalah!" Aku menuding ke arah kakakku.
Bapak memandangku dalam. Seperti ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa disampaikan melalui kata-kata. Tangannya yang kanan bergerak mengelus kepalaku. Aku suka ini.
Aku tersenyum lebar. Kutampakkan gigi susuku yang masih lengkap, pipi tembem sehingga mataku tampak menyipit, serta lesung pipitku di kedua pipi.
"Semua anak-anak bapak pasti akan menjadi orang terhebat di dunia!" Tangan bapak bergerak menggesek-gesek rambut kepalaku dan Mas Alfi.
"Oh iya, Al, kalau sudah besar nanti harus bisa jaga adik, ya! Karena dia perempuan. Di dalam keluarga, ia adalah sebuah harta karun yang harus kita lindungi. Mengerti?"
Mas Alfi menganggukkan kepalanya.
"Janji, ya?"
Lagi-lagi Mas Alfi mengangguk.
"Waktunya tidur siang!" teriak ibuku dari pintu rumah.
"Nanti kalau sudah besar, kalian akan mengerti." Bapak memandang kami bergantian. Kemudian tangannya merangkul kami berdua. Putra dan putrinya.
Aku Afif, putrinya berumur 4 tahun. Mas Alfi, putranya berumur 5 tahun.
"Bapak sayang kalian!"
Aku mengeratkan pelukannya di sisi kanannya. Sedang di sisi kirinya ada Mas Alfi. Begitu hangat.
Aku menyayangi mereka.
Pelukan terakhirnya.
Memori terindah.
Janji hidup menjadi cita-cita, impian, dan alasan untuk tetap hidup.
Sebuah arti hadirnya jiwa untuk jiwa yang lain.
Tetaplah hidup, meskipun aku ingin mengakhirinya! Karena aku punya alasan untuk tetap hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori Gadis Biru
General FictionPerjalanan hidup Afif, Si Gadis Pecinta Biru. Tentang pencarian jati diri dan tambatan hati. Siap-siap dibuat terkejut, dingin, panas, meleleh, bahagia, sedih, dan insecure. Disajikan dalam bentuk potongan-potongan memori sesuai dengan ingatannya...