"Mau ikut?"
"Aku?"
"Wah, ikut aja deh, Dek!" kata Mas Rei.
"Ikut aja semuanya!" tambah Mas Ilham.
"Tapi, aku kan nggak bisa main bola," jawabku sambil berjalan menuju dapur. Membasahi tenggorokan yang kering.
Aku pikir-pikir lagi. Permintaan bapak dan cita-citaku mewujudkan mimpi bapak. Menjadi seorang pemain sepak bola. Tidak ada salahnya untuk mencoba. Never try, never know, never learn, lack of knowledge. Jika begitu, akan kumulai perjalanan ini.
Aku kembali ke ruang keluarga. Mendapati kakak-kakakku yang sok ganteng sedang berpikir keras.
"Mumpung kalian masih muda. Nanti kalo sudah tua, susah ikut yang begini-beginian. Ada kesempatan, langsung ambil saja!" Mas Ilham memang mahir dalam menasihati orang. Apalagi ke adik-adiknya ini.
Mas Alfi dan Mas Rei saling bertatapan. Kemudian saling menganggukan kepala. Giliran aku yang ditatap tiga makhluk sekaligus.
"Oke!" Aku mengacungkan tanda OK dengan jariku. Senyum mereka memberiku kekuatan baru.
"Izin sama ayah dan ibu dulu! Biar direstui," lanjut Mas Ilham.
Dari kecil, aku sudah suka sepak bola karena sering diajak bermain sama bapak. Tiap pagi di halaman rumah. bertiga bersama Mas Alfi dan berhenti tepat saat ibu berteriak dari dapur, memberitahu bahwa sarapan sudah siap. Makan bersama adalah hal wajib. Tapi itu dulu, sebelum aku diasuh oleh ayah dan ibu angkatku.
Hal yang mengesankan dalam masa kecilku adalah diajak ke stadion untuk melihat pertandingan sepak bola. Bapak sedang bermain di sana. Tidak hanya itu, aku dan Mas Alfi juga sering diajak ke stadion hanya untuk menemani bapak latihan rutin. Kami bermain-main di samping lapangan sedangkan bapak berlatih di dalam lapangan. Jadi, dari kecil aku sudah hidup di lingkungan persepakbolaan.
"Gimana kalau sekarang aja telepon ayah?" tanya Mas Rei tiba-tiba. Aku dan Mas Alfi mengangguk cepat.
Mas Rei bangkit dan berjalan mengambil handphone di dalam kamarnya. Tidak lama kemudian kembali dengan tangan menggenggam benda yang dimaksud.
Tuuut tuuut tuuut
Sambungan telah berbunyi.
"Halo!"
"Halo! Assalamualaikum, Yah!"
"Waalaikumsalam, Rei! Ada apa?"
"Anu, Yah!"
Kami saling mendekatkan diri, biar dengar percakapan antara Mas Rei dan ayah.
"Anu apa? jangan yang aneh-aneh deh!"
"Aku, Alfi, sama Dek Afif mau ikut kayak tim sepak bola gitu, Yah! Diizinin, ya?"
"Jelas nggak tuh?"
"Hehehe. Insya Allah jelas, Yah!"
"Emang kayak gimana timnya? Jangan-jangan penipuan itu, Dek!"
"Di brosurnya tertulis sebuah naungan sepak bola yang membentuk generasi muda yang berbakat. Boleh ya, Yah?"
Memang, sulit untuk membuat Ayah mengizinkan putra-putrinya melakukan suatu hal. Harus pasti dan jelas, begitu pula dengan alasannya.
"Ada kontak person-nya?"
"Ada, Yah."
"Dikte!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori Gadis Biru
General FictionPerjalanan hidup Afif, Si Gadis Pecinta Biru. Tentang pencarian jati diri dan tambatan hati. Siap-siap dibuat terkejut, dingin, panas, meleleh, bahagia, sedih, dan insecure. Disajikan dalam bentuk potongan-potongan memori sesuai dengan ingatannya...