Mozaik 0: Prologue

37 6 10
                                    

Hepakan sayap burung meluruhkan dedaunan yang ranggas, sedang merayakan kematian pepohonan. Umurnya sudah tiga setengah tahun ketika parade kemarau, gagalnya pertanian, menangisnya perternakan,  memakamkan keadaan Suku Terang sejak hujan betah liburan. Mungkin, langit lupa bagaimana caranya menangis, semesta lupa bagaimana caranya mengais.

Istana Siang belum bangun dari tidurnya ketika Rui melaksanakan tugasnya. Dinding kecokelatan istana begitu kering, Peri Embun membubarkan barisannya tak kala sinar matahari yang muncul dibalik kaki gunung menjelma pesakitan. Belantara rumput yang kehausan adalah penghantar matahari menggauli bumi dengan kesedihan. Rui menyaksikan terbit itu dengan absensi tak syahdu pada kelopak dwimaniknya, hatinya tak lagi sukacita menyongsong pagi.

Sepoi angin menarikan gaun tidurnya, surai yang jatuh dibahunya ikut dirayu. Serebrum Rui jauh berkelana berbicara, ramalan itu pasti benar.

"Aku mencium aroma wine." Sebuah suara dari arah kanan Rui membebaskan keheningan.

Semilir angin beraroma manis yang menghilangkan akal menggelitik indera penciuman, menarik pemuda bersurai putih itu mendekat. Pemuda itu memiliki manik selayak telaga membuat siapa saja tenggelam dalam pekatnya, porsi tubuh sang pemuda mengidentitaskan seorang kesatria, roman parasnya serupa aristokrat. Dia menatap Rui dengan kelopak matanya yang sayu, mengusap jejak-jejak air mata dari pipi putih sedikit kemerahan milik pujaan hatinya.

"Kau menangis." Pemuda itu merengkuh pundak Rui, bermaksud menawarkan ketenangan untuk hatinya yang rusuh. "Jangan menangis, My Queen. Orang lain akan berpikir ada perjamuan wine pagi ini."

Sudut ranum bibir Rui terekah pendek. Sedikit terhibur dengan ujaran lawan bicaranya. "Orang waras tidak akan minum wine di pagi hari, Jeno."

"Ada. Aku contohnya."

"Artinya kau gila."

Pemuda bernama Jeno itu mendekatkan bibirnya pada telinga Rui. Berlirih lembut. "Ya, gila karenamu."

Jeno menarik senyum, mempersembahkan sepotong bulan sabit yang tadi malam menjadi lukisan gelap pada matanya. Kesatria Malam ini adalah terang dari kelana kegelapan, alamat dari segala rindunya Rui, dan Rui tidak bisa melarikan diri untuk itu. Gadis itu tenggelam diantara frekuensi yang memainkan hal yang sama.

Jemari Jeno turun mengisi kekosongan jari-jemari perempuannya. Hening memeluk keduanya, dengan pasti, Jeno ikut menemani Rui menuntaskan tanggung jawabnya meskipun tahu keesokan hari matahari akan bangun dengan cara yang sama. Cahayanya yang kuning keabu-abuan merangkak sempurna diantara eloknya biru yang gelabah. Ada sesuatu yang turut Jeno rasakan atas apa yang Rui bisukan. Membuat jantungnya berdetak anomali, perih, berteriak meminta dilepaskan dari belenggunya.

"Aku tahu kesedihanmu. Seluruh hatiku ada disisimu. Pasti lah aku tahu."

Rui bergeming dibalik kepala yang bergemuruh.

Seluruh hatiku ada disisimu, seluruh mimpimu ada disisiku. Jeno sering berkata seperti itu sampai Rui menghafalnya diluar kepala. Kata-kata yang terucap pada pertemuan pertama mereka, membawa keheranan sebelum berubah menjadi asmaradahana.

"Benahi hatimu, My Queen. Rakyat Suku Terang akan bersedih melihat Putri Fajarnya terlihat lebih menyedihkan dari mereka. Beritahulah bahwa matahari belum cukup meliburkan diri, berilah mereka kekuatan bahwa semuanya akan berlalu seiring berakhirnya usia waktu."

Tatapan keduanya beradu. Rui menangkap resah di dalam manik Jeno, dia bertanya-tanya apakah gulana milik Kesatria Malam ini untuk kekasihnya ataukah empati untuk rakyat Suku Terang?

"Akan datang musim terakhir di mana Suku Terang kembali menaikan kesejahteraannya, para perternak akan gembira dengan hewan yang bugar, petani bahagia akan tanah yang subur, dan aku memiliki keyakinan bahwa lara Suku Terang akan segera usai."

Jeno meraih dagu Rui, tatapannya jatuh pada bibir perempuan itu. "Jangan bersedih, My Queen. Aku akan berada disisimu hingga musim terakhir itu tiba."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jeno memagut ranum perpotongan bibir Rui dengan bibirnya penuh damba. Rui membalasnya dengan hati-hati. Air matanya luruh menemani mesra, hatinya beriak kesakitan.

Untuk segala tanya, Rui tahu jawabannya.

Pada akhirnya, hari di mana musim yang ranggas ini selesai adalah awal dari hati yang pesakitan, Jeno.

The Last Day of SeasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang