3

7 3 0
                                    

Di parkiran motor Emily tengah mencari kunci motornya yang tak kunjung ia dapatkan. Ia merasa jengkel sendiri dan memutuskan untuk menyusuri jalan yang ia lalui sebelum ke parkiran motor. Ia menunduk dan mengamati setiap sudut lorong kampus. Karena tidak fokus berjalan, ia menabrak seseorang.

"Aduh, maaf..." ujarnya sambil membungkukkan badan. Emily hendak melangkah mencari kuncinya, tapi orang itu keburu bersuara.

"Emily?"

Emily menoleh. Suara itu, suara yang selama ini diam-diam ia rindukan. Raut wajah yang teduh, dan senyum khasnya. Nama yang tak jarang ia panjatkan secara sembunyi pada Tuhannya.

"Ru-Ruka?" ucapnya gagap. Ia tak menyangka akan bertemu Ruka lagi. Sudah beberapa minggu ia tak mendengar kabar Ruka.

Ruka tersenyum amat lega dan mengajak Emily untuk berbincang dengannya, "Emily, ngobrol yuk?"

***

Keduanya duduk saling berhadapan seperti dulu. Diiringi rintik hujan yang menyejukkan setelah berhari-hari air tak kunjung turun membasahi bumi. Wangi kue waffle yang masih hangat, menyerbak indra penciuman mereka. Keduanya canggung akan situasi ini.

Pikiran Emily melayang kemana-mana. Ia berpikir mungkin Ruka menemuinya untuk memberikan undangan pernikahan atau mengucap salam perpisahan. Mungkin juga ingin mengenalkan calon yang sudah Ruka temukan.

Ruka mengamati wajah Emily yang nampak cantik. Ia tidak mengetahui bahwa Emily berusaha menenangkan hati dan pikirannya saat itu.

Ruka terlalu rindu sampai tidak terlalu peka dengan situasi sekarang. Karena baru bertemu dua kali, hatinya tidak dapat berbohong kalau ia merindukan gadis berhijab yang ada didepannya ini.

"Rasanya seperti bertemu setelah sekian lama ya," ucap Ruka mengawali pembicaraan.

Emily membalas dengan gugup dan mencoba rileks. "D-darimana saja kamu?"

Ruka tersenyum dan membalas, "Selepas pertemuan kita yang lalu, aku pulang menemui kedua orang tuaku. Terimakasih untuk sarannya waktu itu Emily. Aku sangat terbantu dengan hal itu."

Emily ikut tersenyum. Namun, ia tak kunjung merasa lega. Ia berniat mencicipi makanan yang disediakan di meja.

"Sebenarnya saat aku pulang, ada banyak hal yang terjadi Emily."

Gadis yang tengah memotong waffle itu berhenti, perasaannya mulai risau. "Ada apa?"

"Ternyata mereka hanya sakit biasa dan malah mempersiapkan pertunangan untukku," kata Ruka. Ia merasa keberatan menceritakan ini pada seseorang yang pernah singgah di hatinya. Namun baginya, Emily harus tau semua hal tentangnya. Karena ia paham bahwa para gadis tak suka dibohongi.

Mulut Emily menganga lebar tak percaya. Dadanya terasa sesak, perih dan sakit. Kristal bening tiba-tiba mengalir dari mata indahnya.

"Emily! Kenapa kamu menangis?!" Ruka tersentak kaget melihat gadis itu tiba-tiba bersedih. Ruka yang baru memahami situasi, segera melanjutkan pembicaraan.

"Ah, tidak Emily! Ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Pertunangan itu... tidak jadi dilaksanakan."

Emily langsung menatap Ruka tidak peecaya,"A-apa? Kenapa?"

Ruka memandang Emily yang masih belum berhenti menangis walau sedang bertatapan dengannya. Ia mengerti, ini hanya spekulasi Emily saja. Emily pasti salah paham, pikirnya.

Ruka menghela napas, "Tidak usah pedulikan apa alasannya Emily. Yang terpenting..."

"Saya cinta kamu Emily."

Emily terkesiap, ia menutup mulutnya dan makin membanjiri pipi dengan air matanya.

Ruka jadi serba salah. Ia tidak tau Emily akan seterkejut ini. Kemudian ia berdiam sebentar, membiarkan gadis di hadapannya mengeluarkan air mata sampai lega. Ia jadi merasa bersalah.

"T-tapi ba-bagaimana...?" Emily masih tidak menyangka dan mencerna semua hal yang terjadi.

"Apanya yang bagaimana Emily?" Ruka balik bertanya. Emily bingung bagaimana cara menjelaskan apa yang dia khawatirkan. "Ah, Ruka... Kita bahkan belum saling mengenal, bagaimana bisa?!"

Ruka menghembuskan nafasnya dan menggeleng, "Tentu saja bisa. Ke depannya kita lakukan perlahan saja Emily... Kita bisa berta'aruf. Atau kalau kamu mau pelan-pelan juga tidak apa."

Emily masih takjub, dan tidak menyangka hal ini bisa terjadi. Namun sekejap dia tersadar akan dirinya yang seperti ini. Ia menganggap bahwa dirinya tak pantas berada di samping Ruka. Ia jadi ragu, dan mempertanyakan alasan apa yang membuat Ruka bisa mencintainya.

"Tapi... Ruka... Aku tidak pantas untuk bersanding denganmu. Mungkin kamu belum tau, tapi aku seorang mualaf. Kamu berhak mencari seseorang yang lebih baik dan lebih mengerti tentang ini semua. Dan kenapa kamu bisa cinta aku—?"

Ruka tidak tahan lagi, ia mengambil sapu tangan di sakunya. Membalut tangan Emily yang lembut dengan saku itu agar ia bisa memegang tangannya tanpa bersentuhan secara langsung. Sorot matanya menatap tajam, membuat gadis di hadapannya semakin merona.

"Emily, saya tidak mempermasalahkan masa lalumu. Saya tegaskan, saya tidak mau orang lain. Yang saya mau hanya kamu, hanya kamu yang sudah memenangkan hati saya seutuhnya..." ucapan tegas itu perlahan melunak. Rasanya Ruka ingin sekali mendekap Emily dan menjelaskan semua hal yang ada di benaknya.

Emily mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ruka menggenggam tangannya dengan erat, seakan-akan tidak mau membiarkan ia pergi.

Ruka menarik napas panjang, memang bukan hal mudah membangun kepercayaan dalam waktu singkat. Ia salah mengira Emily akan langsung menerima pernyataan cintanya dengan lapang.

Memang, perempuan sulit untuk ditaklukkan. Ia laksana tembok besar dengan segala perlindungan. Namun sekali kamu bisa membuatnya percaya, ia akan mempercayaimu tanpa ragu.

"Haruskah saya punya alasan untuk jatuh cinta denganmu, Emily?" tanya Ruka masih menggenggam tangan Emily yang terbungkus kain itu.

Emily menundukkan kepalanya, ia tak tau harus berbuat apa. Rasa insecure-nya terlalu besar hingga menekan rasa optimis.

Emily mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Apa yang dia ragukan kepada seseorang yang rela kembali selain rasa cintanya yang begitu besar? Bukankah ia juga mencintai Ruka? Tapi kenapa, rasanya ia bukanlah apa-apa?

"Jangan ragu untuk jujur dan berpikir positif Emily. Tidak perlu mencari-cari hal yang malah membuatmu kesakitan. Buka matamu dengan lebar dan lihat masa depanmu... ."

Lagi dan lagi. Emily terkesima mendengar kata-kata Ruka. Seperti mantra yang bisa menggerakkan hati. Emily menundukkan kepalanya, beberapa bulir air jatuh ke pangkuannya. Ia kemudian mengangguk.

Melihat hal itu, Ruka menjadi merasa sangat lega. Artinya, pernyataannya diterima. Ia tersenyum dengan sangat lebar. Memanjatkan syukur kepada Yang Maha Kuasa.

"Kita bisa belajar bersama tentang kehidupan dalam agama ini Emily. Dan saya berjanji..." Emily melirik Ruka yang berhenti bicara. Ruka terdiam sebentar, wajahnya merona dilirik gadis yang ia pegang tangannya itu.

"Saya berjanji akan mencintaimu dalam tiga waktu, Emily...

...sekarang, esok, dan selamanya."

***

selesai.

terima kasih sudah membaca :))

hehe

run

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

3 TIMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang